KHSblog.net- Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Kepemimpinan Pendidikan dalam Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam. 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Setiap tahun tentunya kita patut mengambil jeda sejenak, untuk melakukan refleksi makna dari Hari Pendidikan Nasional. Bukan hanya melakukan ritual tahunan, upacara tanpa makna. Bagaimana memaknai peran pendidikan. Bagaimana kita sebagai pendidik yang mampu dan mau memimpin dirinya dan memimpin orang lain.
Kepemimpinan pendidikan yang efektif adalah kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada Hari Pendidikan Nasional ini, kita dapat merefleksikan peran penting kepemimpinan pendidikan dalam membentuk generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan berdaya saing tinggi.
Salah satu aspek penting dalam pengelolaan organisasi termasuk organisasi pendidikan adalah kepemimpinan. Umumnya, para ahli mengatakan bahwa esensi manajemen sesungguhnya adalah kepemimpinan. Sebab pemimpin dan aktivitas kepemimpinannya dalam pengelolaan pendidikan berhubungan kuat dengan pengembangan lembaga pendidikan yang dipimpinnya dan berperan penting dalam memengaruhi pengembangan seluruh program kegiatan pendidikan dan perubahan-perubahan lainnya ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan konsep itu KH. Tholhah Hasan memiliki pendapat yang kurang lebih sama, bahwa pada dasarnya kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi (influencing) dan membujuk (inducing) orang lain, supaya orang tersebut mau mengikuti kemauan pemimpin untuk melakukan hal-hal yang diperlukan, terutama kemauan untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan.
KH. M. Tholhah Hasan menyatakan bahwa esensi kepemimpinan, menurut teori kepemimpinan mana pun, sesungguhnya terletak pada pemimpin itu sendiri. Pemimpin selalu mempunyai peluang untuk melakukan perubahan-perubahan dan menggunakan peran strategis untuk mengubah situasi dan kondisi organisasi serta para pengikutnya termasuk juga lembaga pendidikan Islam. Peluang dan peran strategis tersebut adalah “pengaruh”, “keputusan” dan “kekuasaan”.
Kualitas pemimpin dan efektivitasnya dapat diukur dari ketiga peran strategis yang dilakukannya ini. Untuk apa dan bagaimana pengaruhnya itu dilakukan? Kepada siapa dan untuk kepentingan apa keputusan itu dilakukan? Untuk apa dan bagaimana kekuasaan itu digunakan? Dan, bagaimana cara kekuasaan itu dikerahkan?
Ketiga peranan itulah yang menyebabkan seorang pemimpin dapat dikatakan berhasil atau gagal. Melalui ketiga peranan ini, efektivitas kepemimpinan seseorang dapat menghasilkan banyak prestasi dan mengalami keterpurukan karena kepemimpinannya tidak efektif, akibat tidak bisa memengaruhi orang yang dipimpinnya, tidak kreatif dalam membuat keputusan, dan menyalahgunakan kekuasaan yang telah dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu dalam pandangan KH. Tholhah Hasan, problematika multidimensional yang sedang melanda bangsa Indonesia bisa jadi disebabkan karena kurang cakap dan tidak amanahnya pemimpin menggunakan peluang dan peran strategis di atas. Ia mengatakan:
Tragedi yang dialami bangsa Indonesia akhir-akhir ini baik dalam masalah politik, moral, maupun hukum, seperti penangkapan, penculikan, korupsi, kolusi, nepotisme mafia peradilan, penjarahan terorganisasi, pemerkosaan massal, penggusuran rumah rakyat, penyalahgunaan jabatan dan kekayaan negara, dan lain-lain lagi merupakan panorama atraktif dari penyalahgunaan pengaruh keputusan dan kekuasaan yang dipegang sebagian (yang cukup banyak jumlahnya pemimpin-pemimpin bangsa ini)
Situasi itulah yang menyebabkan bangsa kita belum berkembang dengan cepat dalam berbagai sektor, baik di bidang pendidikan, politik, hukum,ekonomi dan semacamnya.
Pertanyaannya, mengapa masih banyak orang yang tetap ingin menjadi pemimpin di tengah-tengah situasi seperti itu? Berbagai pengalaman dan pengamatan faktual sejak zaman dahulu hingga sekarang mayoritas masyarakat atau bangsa Indonesia menganggap bahwa menjadi pemimpin itu, termasuk meskipun menjadi pemimpin lembaga pendidikan (kepala sekolah/madrasah, ketua, rektor) sebagai jabatan terhormat di samping dengan kepemimpinannya tersebut ia memiliki banyak peluang untuk memperoleh beberapa hal yang umumnya menjadi impian banyak orang yaitu “kekuasaan”, “kehormatan” dan “kekayaan”.
Melalui ketiga peluang itulah, orang dapat melakukan apa saja sesuai dengan pikiran, keinginan, wewenang dan kebijakannya, apakah kepemimpinannya akan dijadikan sebagai “mata pencaharian atau wahana pengabdian”? Bagi pemimpin yang menganggap kepemimpinan itu sebagai mata pencaharian ia akan merasa keberatan untuk melepaskan jabatan dan kedudukannya, bahkan akan mempertahankan mati-matian dengan berbagai macam cara dan alasan untuk mengamankan kedudukannya, meskipun kepemimpinannya gagal dan sudah tidak disukai oleh Masyarakat. Hal ini sering terjadi dalam organisasi politik, organisasi sosial bahkan organisasi pendidikan dan keagamaan.
Sebaliknya, pemimpin yang menganggap kepemimpinannya sebagai wahana pengabdian, maka ia akan segera bebas dari amanah, jabatan, dan kedudukannya, karena khawatir proses kepemimpinannya kurang Amanah, tidak adil dan belum bisa menjalankan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Baginya, kepemimpinan itu adalah amanah dan tanggung jawab moral yang pertanggungjawabannya tidak hanya pada masyarakat, tetapi juga kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dinyatakan dalam Al- Qur’an:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya, Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa [4]: ayat 58).
Menurut KH. Tholhah Hasan, mobilitas kepemimpinan dalam Islam memang tidak diatur dengan sistem yang baku dan ketat. Sesuai ajaran dan prinsip-prinsip dasar dalam Islam, di dalamnya hanya mengatur dasar-dasar etika dalam masalah kemasyarakatan, termasuk dalam melaksanakan kepemimpinan.
Sehubungan dengan sifat masyarakat yang dinamis dan terus berkembang maka, Islam tidak membebani Masyarakat, tetapi selalu memberi ruang untuk berbuat secara kreatif dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan sosialnya, sesuai dengan kondisi tempat dan waktu berlandaskan prinsip moral dan etika dasar yang telah diletakkan oleh Islam seperti keadilan, Amanah, musyawarah, kejujuran tanggung jawab dan lain-lain. Oleh karena itu kepemimpinan dalam Islam harus dipandang sebagai berikut ini:
- Amanah (kepercayaan yang harus dilaksanakan),
- 2. Khidmah (pengabdian dan tugas pelayanan publik yang harus diperhatikan),
- Mas’uliah (tanggung jawab yang tidak bisa dilepas atau dihindari di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan pada masyarakat yang memberikan mandat kepemimpinan), dan,
- Ri’ayah (perlindungan terhadap masyarakat yang dipimpin supaya mereka tidak tertimpa hal-hal yang mencelakakan dan merugikan).
Empat prinsip ini merupakan visi kepemimpinan yang telah diletakkan oleh Islam, bahkan juga dalam agama-agama mana pun yang syarat dengan nilai moral dan religi.
Prinsip-prinsip tersebut yang seharusnya menjadi rujukan dan bingkai kepemimpinan para pemimpin bangsa, masyarakat, negara, organisasi politik, apalagi organisasi keagamaan dan lembaga pendidikan Islam.
Di sisi yang lain, dalam sistem masyarakat dan komunitas modern seperti dalam bidang politik, hukum, pendidikan, ekonomi sosial budaya, dan sebagainya, apalagi dalam sistem demokrasi yang sudah berkembang secara global, hampir semua organisasi tersebut menghendaki sistem kepemimpinan yang terbuka, suatu kepemimpinan yang umum dan secara realistis berlaku dalam masyarakat dunia.
Kepemimpinan dalam sistem masyarakat tradisional atau dalam komunitas tertentu di beberapa daerah yang masih mengikuti sistem monarki (kerajaan atau keraton) dan masih dilestarikan kepemimpinan seumur hidup berdasarkan jalur turun-temurun, tampaknya sistem kepemimpinan tersebut sulit diterapkan dalam perkembangan masyarakat modern. Termasuk juga dalam agama Islam, kepemimpinan dengan jalur keturunan (monarki) tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Islam lebih mengutamakan aspek moralitas dan integritas dalam menentukan kepemimpinan dibandingkan aspek lainnya. Kisah Khalifah Umar bin Khattab Ra. pada waktu mencari pemimpin (kepala daerah) di Kufah (ada yang mengatakan di Basrah), ia meminta pendapat beberapa orang sahabat untuk ditunjukkan “seseorang yang dihormati (berpengaruh) di tengah-tengah Masyarakatnya meskipun ia tidak menduduki jabatan pimpinan. Jika yang bersangkutan sedang menjabat sebagai pimpinan, ia bisa hidup bersama sebagaimana masyarakat lainnya.” Cerita ini, menurut KH. Tholhah Hasan menunjukkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab Ra. menginginkan pemimpin yang mempunyai kepribadian, integritas moral, sifat yang merakyat (populis), egaliter, dan mempunyai kemampuan.
Kepemimpinan yang baik, di samping harus melaksanakan tugas kepemimpinannya secara efektif, produktif, dan kreatif memberikan perubahan-perubahan positif pada organisasi atau institusi dan masyarakat (warga), ia seharusnya juga mampu menyiapkan beberapa calon pengganti atau kader-kader yang akan melanjutkan kepemimpinannya. Oleh karena itu, jika ada pemimpin yang menduduki jabatan tertentu sampai lama dengan alasan belum ada sosok yang mampu menggantikannya, maka itu merupakan salah satu bukti kegagalan kepemimpinannya.
Dengan kata lain salah satu indikator kesuksesan seorang pemimpin bagi KH. Tholhah Hasan adalah pemimpin yang mampu menjadi perintis atau pelopor yang mampu mencetak para pengikutnya untuk mengikuti jejak dan perkembangannya, sehingga kapan pun saja, salah seorang dari mereka sudah siap untuk menggantikan kepemimpinannya.
Sifat kepemimpinan ini yang disebut dengan Vanguard Leadership (kepemimpinan pelopor atau perintis). Sosok pemimpin perintis adalah pemimpin yang memiliki kemampuan memengaruhi dan membujuk orang lain karena moralitas dan integritas kepemimpinannya dijiwai dengan prinsip-prinsip religious, populis, dan transformatif.
Sumber: Modernisasi Manajemen Pendidikan Islam, Dr. Fathor Rachman, M. Pd, 2021
baca juga :