Warisan. Sebuah peninggalan yang nantinya akan diberikan oleh orang tua terhadap anaknya. Warisan itu bisa berupa harta namun tidak lebih berharga dari kasih sayang. Penyesalan itu selalu dibelakang kemudian hari soalnya bila didepan itu namanya uang muka…hehehe. Sebuah kisah inspiratif mengenai seorang Ayah yang merasa kesepian di usia senjanya sementara sang anak justru berebut apa itu “Warisan”. Monggo disimak brosis cerita panjang lebar berikut ini.
Empat puluh hari sudah kematian sang istri. Suasana rumahnya masih berkabung. Tetangga dan para kerabat baru saja membereskan piring-piring makanan, gelas dan karpet setelah selesai acara tahlilan.
Di dalam kamar dengan cahaya lampu temaram Baskoro, pria berusia senja itu terdiam. Menikmati secangkir kopi yang rasanya sangat jauh berbeda dengan buatan istrinya selama ini. Itu yang membuat pria itu tak bersemangat menghabiskan sisanya.
Dipandangi jemari keriput di atas pangkuan. Sedikit gemetar. Mungkin karena dingin malam yang masuk melalui celah papan yang terbuka, mungkin karena tenaganya sedikit terkuras setelah repot mengurusi 40 hari kematian istrinya, atau mungkin … karena suara obrolan tiga putra dan satu putrinya di luar kamar sedikit mengusik hatinya.
Ah, bukan sedikit, tapi teramat.
“Apa ini tidak terlalu terburu-buru? Bapak kan masih ada. Tidak pantas lah kita membicarakan masalah ini sekarang.” Terdengar suara putra keduanya. Sedikit ragu akan pembicaraan mereka di malam empat puluh hari almarhumah ibu. Setto namanya. Laki-laki yang sekarang sudah punya penghasilan cukup lumayan di salah satu kota besar.
“Kita jarang berkumpul seperti sekarang ini, Mas To. Dari pada nantinya terjadi kesalah pahaman jika cuma bicara lewat telepon atau SMS-an, jadi tak ada salahnya kita bicarakan sekarang,” sanggah Kusrini, anak perempuan satu-satunya. Suaminya sedang sibuk merintis usaha kecil-kecilan di daerah kelahirannya sana. Sudah lama dia selalu bertanya perihal warisan pada sang ibu. Mungkin karena dia berharap mendapat bantuan modal dari keluarganya.
“Bener kata Kusrini. Masalah warisan bisa jadi hal yang sangat sensitif bila tidak menemukan titik temu pembicaraan. Aku tak mau nanti kita berempat malah bermasalah pada akhirnya.” Danang, putra pertama membenarkan. Sebenarnya dia tidak tinggal terlalu jauh dari sini, hanya saja kesibukannya berdagang membuat ia jarang datang. Lumayan sukses, tapi baginya semakin banyak tambahan dana, maka semakin bagus nasib toko usahanya.
“Jadi yang bapak punya sekarang tinggal 1 hektar kebun dan pekarangan rumah ini.”
Itu suara putra ketiganya. Bagas namanya. Pemuda yang baru mengecap manisnya biduk rumah tangga setahun lalu. Bekerja sebagai karyawan di sebuah toko di kota, membuatnya tidak mampu mengontrak rumah lebih besar dari kamar Baskoro. Kecil sekali. Tapi anehnya, pemuda itu lebih menikmati tinggal di sana dari pada harus di desa bertani menggarap kebun sang ayah.
“Kita urus surat pembagian tanahnya dulu, Mas,” ucap Setto.
“Setelah itu kita jual dan langsung bagi rata sekarang?” tanya Kusrini.
“Ya, secepatnya. Aku tidak bisa pulang kampung terlalu lama. Aku bisa dipecat nanti!” Bagas menimpali.
“Bagaimana dengan pekarangan Bapak ini?”
“Itu nanti saja, tidak enak sama Bapak.”
Di dalam kamar, Baskoro mendesah. Mata tuanya melirik foto sang istri yang tergantung di dinding kamar.
“Kenapa kamu yang harus pergi duluan to, Sri …?” gumamnya kecewa.
Bukan, dia bukan bermaksud menguping pembicaraan.
Bangkit berdiri dia dari kursi kayu yang letaknya menyandar di dinding tepat di samping pintu kamar. Mungkin karena itu suara anak-anaknya tadi begitu jelas terdengar.
Direbahkannya tubuh ringkih itu perlahan. Bau minyak angin khas almarhumah sang istri masih membekas di peraduan. Menciptakan bayang semu seolah sang istri masih ada di situ. Seperti malam malam sebelumnya.
Selalu wanita tua yang tubuhnya semakin mengurus itu bertanya.
“Jam berapa ini, Pak? Kok belum tidur?”
Lalu Baskoro akan menjawab, “Aku sedang menunggu telepon. Siapa tau hari ini ada yang punya waktu luang untuk bicara.”
***
Beberapa hari setelah itu, Baskoro masih ditemani anak-anaknya. Mereka mengobrol santai sesekali di teras rumah. Mengenang kejadian-kejadian lucu di masa kecil yang terjadi.
“Dulu, Bagas sering sekali jatuh di belokan jalan depan rumah Mbok Dinah kalau naik sepeda! Nangis ngesot-ngesot dia. Kalau belum diceblek ibu, ya tak akan pulang!” Cerita Danang sambil menunjuk wajah adiknya.
Mereka tertawa.
“Dari pada Mas Danang, setiap pulang sekolah selalu saja maling mangga Pak Lusimin!” Balas Bagas.
“Namanya juga lapar!” Sahut Danang, “kadang ibu lupa memberiku uang jajan.”
Tawa berderai lagi.
“Masih ada pohon mangganya kalau Mas Bagas mau maling lagi!” Kata Kusrini setengah mengejek.
“Halah, masih mending Mas Bagas. Lah Kusrini, masa Pak Jumadi dipanggil bapak!” Setto tertawa gelak-gelak.
“Dipikirnya dia anak Pak Jumadi!”
“Itu karena Pak Jumadi sering mengajak main muter-muter naik motor.” Kusrini tersipu dalam tawanya.
Seru sekali pembicaraan mereka.
Dari sebagian kenangan yang mereka bicarakan, banyak yang Baskoro tidak ingat. Atau bahkan ada yang baru diketahuinya hari itu. Jadi dia memilih hanya sebagai pendengar dan ikut tertawa saja. Merasa hari ini adalah hari bahagia, sejenak bisa melupakan kepergian sang istri.
Seandainya sang istri masih hidup, tentu dia akan sangat senang melihat keluarga mereka berkumpul utuh seperti saat ini.
Ini harapanmu to, Sri? Ini harapanmu …
Ah, di antara tawa Baskoro, setitik air meluncur turun dari sudut matanya. Cepat, tangannya mengusap. Agar tak tertangkap oleh mereka bahwa sebenarnya hati sang ayah merasa kecewa.
***
Satu hektar kebun sudah laku terjual. Uang yang didapat dari hasil penjualan pun sudah di bagi rata. Masing-masing merasa puas. Masing-masing merasa senang karena pembagian yang sama rata.
Kecuali Baskoro.
Hari ini, satu hari setelah mereka dapatkan gepokan uang itu, terlihat mereka mulai berkemas.
Baskoro mengamati dari bangku ruang tamu saat satu persatu anak-anaknya mengeluarkan tas dari dalam kamar.
Terlihat sama-sama sibuk. Ada yang menelepon, ada juga yang membereskan barang-barang. Tapi … tak ada satu pun yang bertanya padanya, ‘Pak, mau ikut salah satu dari kami atau tidak?’
Mata tuanya terus mengamati. Sambil sesekali meneguk sisa kopi yang rasanya jelas berbeda dari buatan tangan mendiang istri.
Masih diingatnya dengan jelas pembicaraan mereka semalam. Saat Baskoro mengenang sang istri, lagi-lagi tanpa sengaja dia mendengar pembicaraan mereka.
“Bapak tinggal sendirian sekarang. Mas kasihan. Siapa yang akan mengurus rumah dan bapak di sini?” Danang, putra sulungnya meminta pendapat.
“Rumah kontrakanku kecil. Tak ada kamar lebih untuk bapak.” Bagas mengungkap alasan.
“Di rumah, istriku sedang repot mengurus ibunya yang lumpuh. Aku nggak enak kalau harus membuatnya lebih repot lagi.” Setto ikut memberi alasan.
“Berarti kau saja Kus yang mengurus bapak di rumahmu. Masalah biaya nanti biar kita tanggung bertiga.” Danang memutuskan.
“Tapi aku nggak bisa, Mas. Aku punya dua anak kecil-kecil. Repot. Apalagi harus membantu usaha Mas Arya,” kilah Kusrini.
“Aku dan istriku juga jarang ada di rumah. Jadi ya kasihan kalau bapak harus tinggal di rumah tapi malah tak diurus,” ucap Danang ragu.
Lama mereka saling diam.
Di dalam kamar, Baskoro menggenggam erat bingkai foto sang istri. Padahal kata-kata mereka tidak menyakitkan. Tapi kenapa dia merasa ada yang mengiris hatinya secara perlahan?
“Ya sudah. Kita minta tetangga dekat sini saja yang membantu bapak. Kita patungan membayar dia tiap bulan.”
Akhirnya, itulah yang diputuskan.
Baskoro menghela napas. Dipandanginya sepasang mata redup di pangkuannya itu.
“Kenapa kemarin tidak mengajakku sekalian to, Sri … biar tidak repot anak kita seperti ini,” lirihnya, merasakan dada yang tersakiti.
.
Mereka, satu persatu mencium punggung tangan keriput Baskoro. Pamit pulang, entah kapan bisa kembali datang.
Laki-laki tua itu tersenyum sambil menepuk bahu tiap kali putra-putranya mengucap salam.
“Hati-hati di jalan kalian. Sampaikan salam Bapak untuk para menantuku.”
“Ya, Pak!” Hampir serentak mereka menjawab.
Bahkan Kusrini, anak perempuan satu-satunya itu sempat meneteskan airmata saat mencium kedua pipi ayahnya.
“Maaf, Kus tidak bisa menemani bapak di sini lebih lama ya, Pak. Ada Dita dan Dio yang harus Kus jaga. Nanti kapan-kapan Kus pasti ke sini untuk menjenguk bapak …”
Kapan? Kusrini pun tidak tahu bisa datang kapan.
Baskoro tersenyum mengiyakan. Sejenak matanya memang merebak merah. Masih ada setitik harap di hatinya hingga detik ini.
Berharap ada satu anak yang berubah pikiran dan mau menawarkan padanya, ‘Pak, Bapak ingin tetap tinggal di sini atau di rumahku saja?’
Pastilah dia segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil beberapa potong pakaian.
Tapi hingga mereka mengenakan sepatu dan melangkah keluar pintu, tetap tak terdengar pertanyaan itu.
Mereka berempat sudah berada di teras. Sementara Baskoro berdiri di pintu. Sejenak, pria renta itu menoleh ke dalam. Lalu menyadari betapa kosong ruangan dalam.
“Sepi nanti …” tanpa sadar pria tua itu bergumam.
Masih terdengar oleh Danang dan Bagas. Mereka mengurungkan langkah, menoleh, lalu tersenyum pada Baskoro.
“Bagas bakal sering menelepon bapak.”
“Danang juga, Pak! Kalau ada yang bapak butuhkan, bilang saja. Nanti kami usahakan secepatnya mengirim uang.”
Baskoro hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Untuk orang seusianya, apa yang lebih dibutuhkan dari pada ditemani bicara?
Lalu dipandanginya punggung-punggung itu menghilang dari pekarangan.
Hening.
Sunyi.
Ruangan yang selama beberapa hari dipenuhi suara dan tawa, kini seolang menghilang. Yang tertinggal hanyalah bayang.
Baskoro melangkah ke dalam.
Ingin memanggil nama sang istri untuk membuatkan kopi, tapi segera tersadar istrinya sudah beristirahat dengan tenang saat ini.
Ingin duduk menonton acara berita di televisi, tapi tak ada seseorang yang bisa ia ajak berkomentar.
Ingin bicara, tapi … pada siapa?
Baskoro melangkah ke dalam kamar. Masih pagi, jam dinding menunjuk tepat di angka sembilan. Tapi entah kenapa pria bertubuh kurus itu hanya ingin merebahkan diri di pembaringan.
Sambil tangannya mendekap foto di dalam bingkai.
“Kenapa kamu yang pergi duluan to, Sri … padahal kamu yang harusnya tetap tinggal karena lebih disayang. Bukan aku …” bisiknya pelan.
Tercium olehnya aroma minyak angin khas tubuh mendiang istri. Seolah wanita itu kini tengah berbaring di sebelahnya.
Diingatnya kembali kata-kata sang istri dulu.
“Sekali-kali ajaklah anak-anak pergi keluar, Pak. Mereka ingin bermain, ingin diajak muter-muter naik motor, ingin memetik buah bersama di kebun milik kita, ingin bermanja-manja dengan kasih sayang bapaknya.” Setengah mengomel istrinya waktu itu.
“Ingat, Pak. Bukan cuma harta yang akan dianggap sebagai warisan oleh setiap anak. Tapi juga kasih sayang.” Lagi-lagi istrinya berkata sok tahu.
Ya, dulu Baskoro menganggap istrinya sok tahu karena itu kata-katanya hanya dianggap sebagai angin lalu.
Tapi itu dulu. Dulu, sebelum Baskoro menyadari bahwa usianya sudah semakin menua. Sebelum ia menyadari betapa penting kedekatan orangtua pada anak-anaknya.
Dihabiskannya waktu dengan bekerja, lalu bercengkerama dengan kawan-kawan di luar sana. Sementara anak dan istrinya, dibiarkan mengukir kenangan tanpa sosoknya.
Hingga akhirnya yang mereka ingat tentang sang bapak hanyalah harta yang bisa didapat, bukan bagaimana caranya agar mereka bisa selalu dekat.
End.
#Copas
sumber ; Sutikno > āMotuba
***
Maturnuwun
baca juga:
- Ayah Profesi Istimewa, Jangan Sampai Terjadi Fatherless
- Ayah Patner Terbaik Pengasuhan
- Berjuang Closing Kebaikan
- Belajar Mendidik Anak yang Seharusnya
- Memikat Hati Keluarga dengan Masakan
- FITRAH YANG TERTUKAR & FENOMENA “BURNED OUT” PADA SEORANG ISTRI (BUNDA)
- FATHER TOUCH
- Tips Parenting di Era Digital
- Tunaikan Hak Anak (1)
- Tujuh Pilar Pengasuhan Untuk Anak (Bagian #2)
š¢ babeh…