Asal usul dan Sejarah Soto di Nusantara. Mantemans tentu perda mendengar kuliner penuh kuah ini yakni Soto. Ragam soto di Indonesia seperti Soto Madura, Soto Lamongan, Coto Makasar, Soto Banjar serta varian soto di beberapa daerah di Indonesia. Penasaran dengan asal-usul Soto? Berikut tulisan bernas dari warganet Waluyo Sugito di grup facebook Nusantara Jayati berikut ini. Monggo disimak brosis…
Asal usul dan Sejarah Soto di Nusantara
Ada yang bilang asal usul Soto dari makanan Tionghoa Semarang. Sebelum menganggukkan kepala, apa ada yang menanyakan dimana bekas-bekasnya ‘caudo’ itu, dan bagaimana mungkin bisa menjadi makanan yang diterima oleh nasional Indonesia sekarang?
Memang boleh diakui bahwa makanan kita sehari-hari banyak pengaruh dari masakan asal Tionghoa, tetapi satu makanan nasional ini, baik namanya maupun resepnya, Soto Madura dan segala soto pada umumnya, pasti bukan yang menyasar dari Tiongkok, karena boleh coba saja mencarinya, dimanapun memang tidak ada dan bagaimanapun tidak pernah ada disana.
Masakan Tionghoa pada umumnya berasalkan dari pesisir selatan Tiongkok yang menyebar dengan kedatangan Hoakiaw di Nusantara selama ratusan tahun belakangan ini. Dari Hokkian dibawakan bakmi, dari Hakka dibawakan bakso, dari Kanton dibawakan cap-cai, dan dari Hainan, kaum Muslim Utsul membawakan masakan asam manis. Hanya saja dari Tiongkok tidak pernah ada masakan yang menggunakan rempah-rempah yang merupakan bahan utamanya soto.
Lebih jauh mengenai soto, terdapat sebuah penelitian yang berjudul Menyantap Soto Melacak Jao To dari Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani yang mencoba memetakan sejarah dari makanan ini. Dikutip dari Lono Simatupang, disebutkan bahwa soto berasal dari makanan China dalam dialek Hokkian yang bernama cau do. Arti dari cau do sendiri adalah rerumputan jeroan atau jeroan berrempah.
Walaupun saat ini soto memiliki isi yang lebih bervariasi baik berupa daging maupun jeroan namun jika dilihat dari asal katanya pada masa lalu makanan ini lebih banyak berisi jeroan. Perubahan nama cau do menjadi soto sendiri disebabkan karena semakin dikenalnya makanan ini dan perubahan penyebutan kata tersebut menjadi lebih mudah dan familiar bagi banyak orang.
Caudo’ melanda nusantara terutama di pesisir Jawa setelah habisnya perang Diponegoro 1825-1830. Awalnya `caudo’ dikenal di Lamongan dan Kudus. Nah, jenis caudo ini bening karena mengambil filsafat `wening ingati’ atau beningnya hati. Tapi lama kelamaan kuah soto Kudus dan Soto Lamongan tidak sebening di awalnya karena dapat ketambahan bumbu-bumbu (terutama `poya’ terbuat dari udang tumbuk seperti ebi). Nah, gerakan soto Kudus dan Lamongan pada tahun 1932 jaman pemogokan buruh kereta api di Surabaya masuk ke beberapa kampung di Surabaya seperti Gundih, Darmo, Waru, Ambengan, dll. Dari situ lahirlah soto Waru, soto Sulung, soto Ambengan, dan yang paling fenomenal adalah `Soto Madura’.
Soto Madura pada awalnya diracik oleh peranakan Cina Surabaya, namun karena pembantu masaknya orang Madura dan pembantu itu kemudian lepas darimajikannya lalu mempopulerkan masakan itu, lucunya di kemudian hari jarang yang bikin soto madura itu orang madura asli. Kalo anda mampir makan di soto-soto madura pinggir jalan kebanyakan yang dagang berasal dari Jawa Timur, bukan Madura. Malah juga banyak dari Solo atau Semarang.
Setelah era soto di tahun 1880 pada suatu perayaan capgomeh di Semarang, Kong Koan (perkumpulan elite peranakan) mengundang ahli masak masakan cina untuk berlomba. Nah bahan dasar yang digunakan itu mian (mie) berbahan dasar tepung terigu dan tepung beras, mifen (bihun), mian xian (misoa), lumian (lomi), guotiao (kwetiau), juga dipake ravioli alias bianshi yang kalo lidah melayu bilang Pangsit. Selain bahan berbasis tepung beras lomba itu juga menyajikan perlombaan memasak jenis-jenis tim sum (dim sum) seperti ruo bao (bapao), ruo zong (bacang), nunbing (lumpia).
Saat itu hasil perlombaan berlangsung yang memenangkan lomba untuk kategori bahan dasar terigu dan tepung beras adalah peranakan dari Batavia dan pemenang kategori Tim Sum adalah seorang ibu peranakan cina dari Bandung. Inilah kenapa sebabnya makanan untuk kategori bahan dasar tepung terigu dan beras kelak di kemudian hari dikuasai oleh Jakarta dan Tim Sum yang kemudian melahirkan jenis masakan fenomenal bernama Siomay dikuasai Urang Bandung.
Menurut Dennys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto bahkan beberapa tempat ada yang menyebutnya Sauto.
Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, mengemukakan bahwa, soto merupakan campuran dari berbagai macam tradisi. Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. China-lah yang memiliki teknologi membuat mi dan soun, ujarnya.
Soto juga kemungkinan mendapat pengaruh dari budaya India. Ada beberapa soto yang menggunakan kunyit. Pada dasarnya yang kita sebut Soto itu adalah semacam sup kare ringan yang meluas di Madurai dipertengahan wilayah Tamil Nadu. Sedangkan sumbernya sup kare ringan tersebut, pada umumnya dikatakan asalnya dari daerah Nellai di Tirunelveli yang 162 Km diselatannya Madurai dekat Samudra Hindia diseberang Sri Lanka, disana sup kare ringan tersebut namanya: Sothi. Beda Sothi Madurai dengan Soto Madura hanya dibahannya, karena Hindhu tidak makan daging sapi, maka Sothi hanya sayuran yang lebih mendekati Lodeh yang merupakan asalnya lontong cap-go-meh, kecuali Sothi yang juga disebut light yellow curry dari Sri Lanka itu mengandung ikan, dan yang ini dikenal sebagai Fish Sothi di Malaysia dan Singapore.
Konon, di seluruh wilayah kota Kudus, dan beberapa daerah sekitarnya bahkan di Pekalongan, ada larangan untuk memotong sapi. Budaya ini adalah warisan budaya Sunan Kudus untuk menghormati umat Hindu /shiwa budha Jawa yang menganggap sapi sebagai hewan suci, sehingga tidak boleh dimakan. Walaupun budaya Hindu sudah hilang pengaruhnya sejak kisaran 800 tahun yang lalu, kebiasaan tidak memakan sapi masih diwariskan hingga sekarang. Warisan Hindu yang ada di wilayah Indonesia disimbolkan dengan pilihan daging ayam dan kerbau. Mereka sendiri tidak suka menyantap sapi, namun lebih suka menyantap daging kerbau. Alhasil, segalanya serba kerbau: sate kerbau, pindang tetel daging kerbau, dan tentu saja soto/tauto daging kerbau.
Orang cina memiliki aturan dalam makan, seperti, larangan makan daging kerbau, larangan menyisakan makan terutama nasi. Aturan itu merupakn aturan lama yang sudah ditinggalkan oleh orang Cina saat ini.
Bumbu-bumbu yang digunakan pun bercita rasa Jawa, seperti penggunaan kemiri dan peresan jeruk limau sebagai kondimen. Penghidangannya bisa dipilih, apakah langsung dicampur dengan nasinya atau dipisah. Penyajian yang asli adalah dimana nasinya langsung dicampur dengan soto, sesuai dengan selera Jawa yang selalu menyajikan nasi sebagai makanan pokok.
Serbuk koya yang juga ditemukan di lontong cap go meh adalah budaya kuliner Tionghoa peranakan. Serbuk ini dibuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur. Berbeda dengan soto ayam Lombok di Malang, koyanya disini sudah ditakar dan tidak biasa ditakar sendiri.
Irisan bawang putih yang digoreng kering, juga merupakan jejak budaya Tionghoa. Cara memasak seperti ini jelas merupakan selera Tionghoa, seperti ditemukan di masakan Tionghoa Pontianak. Masakan Jawa biasanya menggunakan bawang merah, bukan bawang putih, untuk digoreng kering dan digunakan sebagai kondimen.
Sejak dulu hingga saat ini, makanan berkuah ini bukan lah sebuah makanan mewah yang dinikmati oleh kalangan penguasa. Makanan ini lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah dengan dijajakan menggunakan pikulan pada masa lalu. Seiring perkembangan waktu, pikulan tadi berubah menjadi gerobak. Aksesori serupa gerobak atau pikulan ini hingga saat ini pun biasanya masih digunakan oleh beberapa warung soto.
Walaupun pada mulanya dianggap merupakan perkembangan dari sup jeroan dari China tetapi melihat perubahan soto saat ini terutama perkembangan variannya pada banyak daerah, makanan ini telah benar-benar diambil dan disesuaikan dengan lidah masing-masing daerah.
Penggunaan santan, koyah, tauge, bihun, bawang goreng, kentang, dan beragam bahan lainnya merupakan hal yang berbeda-beda di tiap daerah tergantung dengan selera lokal. Perbedaan ini lah yang justr menjadikan makanan ini menjadi sangat disukai oleh banyak kalangan di seluruh Indonesia. Jadi varian soto apa kah yang Anda sukai?
selamat menikmati
Sumber : Waluyo Sugito > NUSANTARA JAYATI (12/06/2018)
baca juga :
- 8 Daftar Kuliner di Kota Gresik yang Wajib di Coba, Lengkap dengan Alamatnya
- Asal usul dan Sejarah Soto di Nusantara
- Weladalah….Beli mie goreng di Mall ternyata ada kecoanya….
- Depot Rosa, kuliner nusantara cita rasa lezat dengan harga bersahabat
- Ngincipi Tahu Walek khas Banyuwangi
- Nasi Padang lagi ngehits dan mendunia
Jadi laper dan pengen makan soto setelah baca artikel ini. 🙌
Ada beberapa jenis soto yg udah pernah aku coba; soto kudus (uenak), soto lamongan (paling sering dan suka), soto banjar, soto kadipiro Jogja, soto padang, coto makassar (jujur aku kurang begitu suka, klo sekiranya ada pilihan soto lain maka soto lain aku pilih) soto apa lagi ya? Aku lupa…soalnya klo makannya ga lupa alias suka banget..
Thanks udah bikin aku lapar…😀😀👌
kalau di banyuwangi ada varian Soto Rujak gans 😀
Oh ya? Gimana tuh? Rujak pake kuah soto?
Kalau pernah makan rujak cingur Surabaya terus dikasih kuah Soto Daging…kira2 semacam itu…kuahnya cukup kental
Kayaknya pernah…😊😊
Thanks