KHSblog.net-Keberkahan Waktu. Waktu adalah kehidupan. Islam menjadikan kepiawaian dalam memanfaatkan waktu termasuk di antara indikasi keimanan dan tanda-tanda ketakwaan. Membiarkan waktu terbuang sia-sia adalah tanda tidak memahami urgensi waktu.
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi, benar-benar ada tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS Yunus (10): 6].
Semua orang pasti berharap waktunya produktif dan berkah. Tidak hanya melewatkan waktu yang 24 jam sama diberikan oleh Sang Pencipta.
Berikut ini tulisan Satria Hadi Lubis tentang keberkahan waktu.
KEBERKAHAN WAKTU
Rasulullah saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. “Tidak akan tiba hari kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan, satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun kurma” (HR. Ahmad-Tirmidzi).
Para ulama hadits seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.”
Apa yang dimaksud keberkahan? Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama). Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak.”
Keberkahan yang paling penting adalah keberkahan di dalam waktu kita. Sebab kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan waktu adalah modal yang paling utama agar dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik, seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna.
Oleh karena itu, bagi hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang lainnya.
Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?”
Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.
Imam Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria Al-Anshari, “Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah membuang-buang waktuku.’
Keberkahan waktu dapat kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat. Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” seperti saat ini.
Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan perintah Nabi Saw untuk menguasai bahasa Yahudi (Suryaniah) –percakapan dan tulisan- hanya dalam 17 hari saja. Padahal pada saat itu belum ada alat bantu modern audio visual seperti sekarang ini. Bandingkan dengan diri kita yang memerlukan masa bertahun-tahun untuk mempelajari bahasa Arab atau Inggris tanpa memperoleh hasil yang membanggakan.
Para penulis biografi menceritakan bahwa Al Hafiz Ibn Syahin (seorang ulama hadits kenamaan) menulis 330 judul buku, salah satunya kitab tafsir Al Qur’an setebal seribu jilid. Di akhir hayatnya, ia meminta tukang tinta untuk menghitung berapa banyak tinta yang telah digunakannya untuk menulis. Ternyata jumlahnya mencapai 1800 liter tinta. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Ghaffar Al Qushi menulis sebuah kitab fiqih dalam mazhab Syafii setebal seribu jilid di kota Akhmim. Belum lagi Imam Al-Ghazali yang hanya hidup 55 tahun, dan Al-Nawawi yang hidup hanya 45 tahun, namun berhasil menulis banyak buku berharga berjilid-jilid. Juga Imam Ibn Al-Jauzi yang dikatakan Imam Al-Dzahabi, “Aku tidak mengetahui seorang ulama yang menulis sebanyak tulisan orang ini.”
Mereka memiliki waktu yang sama dengan kita: satu bulan terdiri dari empat minggu, satu minggu terdiri dari tujuh hari, dan satu hari terdiri dari 24 jam. Namun keberkahan dalam waktu memungkinkan mereka berkarya dan membuahkan prestasi lebih banyak dari kita. Keberkahan waktu benar-benar telah hilang pada masa kini, sehingga sering kali waktu terlewat tanpa produktivitas amal yang berarti.
Baca juga:
[display post tag = waktu]