Belajar Mengelola Keluarga dari Kisah Ya’qub AS dan Yusuf AS
Belajar Mengelola Keluarga dari Kisah Ya’qub AS dan Yusuf AS. Salah satu kemukjizatan Al Quran adalah isinya yang melampaui batasan zaman. Menceritakan masa lalu, sekaligus siap untuk kondisi masa depan, mendahului ilmu pengetahuan. Ada banyak kisah tentang ummat terdahulu yang diangkat dan diceritakan dalam Al Quran. Salah satunya adalah kisah Nabi Yusuf AS yang bukan sekedar kisah biasa saja. Kisah ini diceritakan dalam satu surat khusus yang ceritanya juga disampaikan secara runut dan panjang lebar. Bahkan, dalam awal surat Yusuf disebutkan bahwa kisah Yusuf ini adalah kisah terbaik.
Sebagai sebuah kisah terbaik, kisah hidup Nabi Yusuf AS bukan hanya bicara tentang runutan kehidupan beliau sejak kecil hingga dewasa dan menjadi bendahara raja, tapi lebih jauh lagi bicara tentang kehidupan yang bak roller coaster. Dari seorang anak kesayangan ayahnya kemudian disingkirkan ke dalam sumur oleh saudaranya sendiri. Dari sumur, nasibnya diangkat ke dalam sebuah keluarga terhormat, sebelum akhirnya badai fitnah menerpanya dan mengantarkannya untuk memilih ke penjara. Dari penjara, kembali ia dimuliakan Allah SWT dengan menjadi bendahara sebuah kerajaan yang membentang luas wilayahnya saat itu.
Selain kisah hidup Nabi Yusuf AS yang sudah banyak kita baca dan pelajari bersama, ada pembelajaran lain yang tak kalah menariknya untuk kita renungkan. Pembelajaran ini terkait dengan sisi sisi sebuah keluarga dengan segala pernak perniknya. Kisah ini juga tentang kisah sebuah keluarga besar Nabi Ya’qub AS dengan segala dinamikanya. Ya, ini adalah sebuah keluarga yang diliputi cahaya risalah kenabian dan petunjuk Allah SWT yang tiada putusnya. Keluarga besar yang ayahnya adalah seorang Nabi dan salah satu dari anaknya kemudian juga diangkat menjadi Nabi. Karenanya, dari keluarga ini kita dapat mereguk pembelajaran yang sangat berharga nilainya.
Kisah ini bermula dari kisah pernikahan Nabi Ya’qub AS dengan anak pamannya. Ya’qub menikah dengan 2 orang kakak beradik yaitu Layya dan Rahil (syariat saat itu membolehkan). Sang adik Rahil memiliki wajah yang lebih menawan daripada kakaknya. Setelah beberapa tahun pernikahan Rahil belum kunjung mendapatkan keturunan. Sedangkan Layya sudah melahirkan beberapa orang putra. Begitu juga 2 orang hamba sahaya milik Rahil dan Layya yang kemudian juga dinikahi Ya’qub pun sudah melahirkan putra.
Setelah beberapa lama waktu dalam penantian dan doa, akhirnya Rahil mengandung dan kemudian melahirkan seorang putra. Begitu menawan parasnya. Tampan sekali rupanya. Bayi kecil yang sudah lama dinanti ini diberi nama, Yusuf. Bagusnya rupa yang dimiliki Yusuf kian lengkap dengan halus perangainya dan baik budinya. Makin lengkaplah kesempurnannya dan Yusuf pun menjadi anak kesayangan kedua orangtuanya. Terlebih bagi Ayahnya. Bisa dibilang, Yusuf adalah anak primadona. Dan inilah asal mula terjadinya prahara. Drama permufakatan jahat sekumpulan anak atas saudara seayahnya.
Kisah ini menarik untuk kita jadikan sebuah i’tibar dalam keluarga kita hari ini. Bisa jadi –dan sangat mungkin- ada salah satu anak yang mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan anak lainnya. Baik karena kelebihannya (pintar, sholeh, ganteng, banyak hafalan dsb) atau bisa jadi karena ke”istimewaan”nya (ABK, down sindrome dll). Umumnya yang terjadi karena kelebihannya.
Salahkah bila hal itu terjadi ?
Berkaca pada kisah yang ada, rasa-rasanya pengistimewaan ini wajar terjadi dan sangat manusiawi. Secara naluri, kita akan memberikan perhatian lebih kepada sesuatu yang memang layak untuk itu. Bahkan dalam Al Quran pun kita tidak menemukan ayat yang menunjukkan bahwa Allah SWT mencela atas apa yang dilakukan oleh Nabi Ya’qub AS. Terlebih, kita juga akan dapat menemukan di banyak ayat bahwa Ya’qub -dengan segala perhatian lebihnya terhadap Yusuf- tetap berusaha untuk memberikan kasih sayang secara adil kepada semua anak anaknya. Bahkan, untuk mencegah saudaranya yang lain iri atas apa yang dimiliki oleh Yusuf, Ya’qub mencegah Yusuf menceritakan apa yang ia lihat dalam mimpinya.
Bila Ya’qub sudah berlaku adil kepada semua anaknya, lalu kenapa masih ada kecemburuan di hati para saudara Yusuf kepadanya ?
Di sinilah ‘rasa’ berperan. Seadil-adilnya usaha yang dilakukan, tetap akan terasa adanya perlakuan yang berbeda. Bisa jadi dari cara memandang, cara berbicara, atau bahkan cara mengapresiasi atas keberhasilan dan mengkritsi atas kegagalan yang dilakukan oleh sang anak. Maka bila kita berada dalam posisi seperti yang dialami Nabi Ya’qub, tugas kita sebagai orang tua adalah mengelola rasa itu sebaik mungkin. Dan urusan mengelola rasa itu bukanlah hal mudah. Dibutuhkan upaya yang terus menerus dan doa yang tiada putus. Karena rasa letaknya di hati dan hati adalah domain Allah SWT yang membolak-balik dan menguatkannya.
Adilnya perlakuan Ya’qub terhadap semua anaknya dapat kita lihat pula dalam kisah ini ketika beliau memberikan izin kepada saudara-saudara Yusuf untuk mengajak Yusuf bermain bersama mereka. Walaupun sebenarnya Beliau saat itu sudah ragu. Begitu pula ketika mereka pulang dengan membawa baju Yusuf yang dilumuri darah palsu pun Ya’qub tidak melakukan interogasi mendalam kepada anak-anaknya. Beliau lebih memilih untuk mengadukan urusannya kepada Allah SWT.
Waktu berlalu. Yusuf tumbuh dan mekar di Mesir dengan keluarga barunya. Kesedihan atas kehilangan anak tersayang bukanlah tidak menemaninya, tapi semuanya ia adukan kepada Allah SWT, Sang pemilik rahasia di alam semesta. Beliau lebih berfokus kepada anggota keluarga yang ada di sisinya. Ya’qub masih bersama anak – anaknya yang lain. Tetap mendidik mereka dengan sebaik-baik pengajaran. Sebagai seorang ayah yang juga mendapatkan tugas risalah kenabian, tentu saja objek pertama yang menerima semua curahan pengetahuan dan ajaran syariat adalah keluarganya sendiri. Lihatlah bagaimana Ya’qub bisa berdamai dengan masalah yang begitu berat yang dialaminya.
Kisah ini pun menjadi sebuah pelajaran bagi kita ketika musibah datang menyapa kita. Kehilangan anggota keluarga misalnya. Tak patut kita larut dalam kesedihan dan tenggelam dalam kemurungan. Bukankah kita punya Allah yang dapat menjadi tempat menyandarkan segala pengharapan. Bagaimanapun, kita masih punya masa depan yang perlu untuk dipersiapkan. Adapun masa lalu, biarlah ia menjadi pengingat dan pemberi dorongan.
Berjalannya waktu akhirnya mempertemukan kembali keluarga besar ini. Dalam suasana yang jauh lebih baik dibandingkan beberapa puluh tahun sebelumnya. Kesabaran sang Ayah yang tiada pernah berhenti berdoa untuk anak-anaknya –lebih khusus Yusuf- dan keyakinannya yang tiada putus kepada Allah SWT membuat keluarga ini bisa berkumpul kembali dalam suasana yang penuh kebahagiaan, kasih sayang dan persahabatan serta penuh keimanan dan kesyukuran.
Padahal, apa yang dialami Yusuf selama di Mesir bukanlah sebuah ujian yang mudah. Godaan yang datang begitu besar, bisa meruntuhkan keimanan dan juga menghancurkan kehidupannya, dunia dan akhiratnya. Selain karena kebeningan hati dan keimanan yang dimilikinya, ada penjagaan dari doa Ayahnya yang tak pernah putus untuknya. Begitulah cara doa bekerja. Begitu ajaib adanya. Terlebih, ini adalah do’a dari ayah kepada anaknya. Sejauh apapun sang anak berada, bahkan ketika keberadaannya pun tak dapat dipastikan lagi, Allah SWT tetap mengjawab doa-doa tersebut.
Sebagai orang tua, tentunya semua yang kita ucapkan untuk anak anak kita adalah sebuah doa. Bahkan ketika itu adalah sumpah serapah. Maka, sudah sepantasnya bagi orang tua untuk selalu menjaga semua ucapan yang keluar dari lisannya. Bahkan ketika marah atau kecewa sekalipun orang tua dituntut untuk mampu mengelola emosinya dan mengalihkannya menjadi doa doa terbaik. Terlebih ketika anak berada jauh dari pandangan mata, maka doa yang selalu terlantun dari orang tua lah yang akan menjangkauya, menitipkan perlindungan dan penjagaan kepada Allah SWT yang selalu menjaga dan teramat luas jangkauannya.
Pembelajaran terakhir yang dapat kita tarik dari kisah ini adalah saat Nabi Yusuf AS berkumpul kembali dengan semua keluarganya. Bersama saudara saudaranya yang dulu bersepakat memusuhinya. Berkumpul tanpa ada permusuhan, semuanya terselesaikan dengan luasnya dada Yusuf AS yang memilih untuk memaafkan. Tak ada sedikit pun dendam atau permusuhan. Bahkan Ya’qub AS sang Ayah pun dengan begitu legowo dan penuh kecintaan memaafkan kesalahan anak-anaknya dan setuju untuk memintakan pengampunan atas dosa-dosa mereka kepada Allh SWT. Begitu indah moment ini yang diabadikan dalam Al Quran. Sebuah keluarga yang utuh kembali, bersatu kembali dalam ikatan cinta dan keimanan setelah sebelumnya dikoyakkan ikatan mereka oleh tipu daya hawa nafsu.
Padahal, Yusuf saat itu berada pada posisi tawar yang sangat tinggi. Mudah saja baginya untuk tidak memaafkan saudaranya atau bahkan memenjarakan mereka. Yusuf punya kuasa untuk itu. Tapi dia memilih untuk tidak menggunakannya. Baginya, kesalahan saudara-saudaranya hanyalah serupa kesalahan anak kecil yang berkelahi karena berebut mainan dan perhatian orang tuanya. Mereka berkelahi sebentar, lalu kembali berbaikan dan bermaian bersama sesudahnya. Tentu saja, ini semua juga merupakan buah dari pendidikan yang telah ditanam Ya’qub AS sejak usia dini anak-anaknya.
Begitulah diorama kisah keluarga besar Nabi Ya’qub AS dimana juga ada kisah Nabi Yusuf AS di dalamnya. Kisahnya indah dan penuh pembelajaran untuk kita semua. Ya. Pembelajaran untuk kita. Generasi masa kini yang sedang tertatih mengeja arti dan makna kata keluarga.
Ditulis oleh: Muhammad Bachtiyar