c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
Dalam tataran praktik dakwah Islam di Nusantara, ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan (approach), yaitu adaptasi, netralisasi, minimalisasi, dan amputasi.
Pertama pendekatan adaptasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat (tidak haram). Bahkan hal ini merupakan implementasi dari al-akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh Nabi Saw. Tradisi/budaya yang disikapi dengan pendekatan adaptasi mencakup tradisi/budaya yang muncul setelah Islam berkembang maupun sebelumnya. Seperti tradisi bahasa kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk sopan santun terhadap orang yang lebih tua.
عن معاذِ بنِ جبلٍ رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن)
Kedua pendekatan netralisasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal yang diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan. Netralisasi terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan melestarikan selainnya. Allah berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ. (البقرة: 200)
Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini Imam Mujahid menyatakan, bahwa orang-orang Jahiliyah seusai melaksanakan ibadahnya biasa berkumpul dan saling membangga-banggakan nenek moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas dilarang dalam Islam, kemudian turun ayat tersebut yang tidak melarang perkumpulannya namun hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan zikir kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan penghapusan tradisi/budaya secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan hal-hal yang belum lurus saja.
Ketiga pendekatan minimalisasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa dihilangkan seketika. Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan cara: a) mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan menggantinya dengan keharaman yang lebih ringan secara bertahap sampai hilang atau minimal berkurang; b) membiarkannya sekira keharaman tersebut dapat melalaikan pelakunya dari keharaman lain yang lebih berat.
Keempat pendekatan amputasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan. Amputasi terhadap budaya semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan cara menghilangkan hingga ke akarnya, pendekatan ini dilakukan secara bertahap. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw dalam menyikapi keyakinan paganisme di masyarakat Arab menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) pada 630 M / 8 H, atau saat dakwah Islam telah berusia 21 tahun.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال :دخل النبي صلى الله عليه و سلم مكة وحول البيت ستون وثلاثمائة نصب فجعل يطعنها بعود في يده ويقول: جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا. جاء الحق وما يبدئ الباطل وما يعيد. (رواه البخاري)
Referensi:
a. Mirqah Shu’ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61.
b. Majma’ az-Zawa’id, VIII/347.
c. Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39.
d. Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62.
e. I’lam al-Muwaqqi’in, III/12.
c. Melestarikan Tradisi/Budaya Yang Menjadi Media Dakwah
Tradisi/Budaya yang telah menjadi media dakwah dan tidak bertentangan dengan agama, semestinya dilestarikan. Sebagaimana tradisi kirim doa untuk mayit pada hari ke tujuh, ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya, sebab tidak bertentangan dengan agama dan justru menarik masyarakat berkirim doa bagi orang-orang yang telah meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan, kebiasaan kirim doa juga akan ikut hilang atau berkurang.
Namun bila di tempat atau waktu tertentu tidak efektif dan justru kontra produktif bagi dakwah Islam di Nusantara, maka tradisi tersebut semestinya diubah secara arif dan bertahap sesuai kepentingan dakwah (dikembalikan pada prinsip mashlahah).
Referensi:
a. Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara.
b. Nihayah az-Zain, 281.
c. Majma’ az-Zawa’id, VIII/347.
d. Al-Adam as-Syar’iyyah, II/114.
e. Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62.
mantabz nih
http://khsblog.net/2016/02/15/mengenal-apa-itu-islam-nusantara-hasil-bahtsul-masail-maudhuiyah-pwnu-jawa-timur-tahun-2016/8/
Nice share mas…
http://singindo.com/2016/02/16/usia-40-tahun-begitu-istimewa-al-quran-pun-menyebutnya/
bahasan menarik nih kang..
Agak serius 🙂
Nyimak kang
http://satuaspal.com/2016/02/15/tulisan-di-bak-truk-ini-pasti-bikin-kesal-orang-yang-berpacaran/
Islam Nusantara, ramah terhadap Syiah, anti terhadap Wahabi/Salafy (Ahlus Sunnah wal Jamaah sejati)
ah jangan begitoe…coba ditabayunkan…sesama muslim mestinya menghindari gontok-gontokan
Tes
🙁
monggo gans…