Banyak jalan menuju kebaikan. Baik itu berupa ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang berkaitan dengan ibadah antara hamba kepada Allah secara langsung (vertikal). Sholat, puasa, zakat dan haji.
Menyingkirkan duri di jalan, memberi makan dhuafa, fakir dan miskin, membantu tetangga saat tertimpa musibah adalah beberapa contoh ibadah ghairu mahdhah. Intinya ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah umum. Yaitu segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah.
Betapa Allah begitu Mahabaik kepada semua hambanya. Menyediakan seluas-luasanya jalan kebaikan.
Jalan kebaikan yang bisa kita ambil salah satunya untuk dirutinkan dan diamalkan. Tak hanya sekedar waktu-waktu kita lapang menunaikan kebaikan tersebut. Namun catatan pentingnya adalah kebaikan itu rutin dilakukan. Baik dalam kondisi lapang maupun kondisi sempit. Di sinilah Allah yang akan menguji siapa diantara mereka yang konsisten dalam semua kondisi. Allah lah yang akan mengganti atas kebaikan yang sudah ditunaikan secara rutin tersebut. Allah Maha Mengetahuinya.
Sebagaimana firman Allah SWT :
“….Dan apa saja kebaikan yang kamu lakukan. Maka sesungguhnya, Allah Maha Mengetahuinya.” (Q.S Al-baqarah : 215)
“….Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan niscaya Allah mengetahuinya.”
(Q.S Al-Baqarah :197)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun , nisacaya dia akan melihat (balasannya).” (Q.S Al-Zalzalah: 7)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, maka itu dalah untuk dirinya sendiri.” (Q.S Al-Jatsiyah: 15)
Saat kita sudah rutin melakukannya meskipun amalan itu kecil nampaknya, Allah lebih meyukainya. Dan tidak boleh mencela kebaikan meskipun itu terlihat kecil.
Seperti pada hadist berikut, 5/121:
Abu Dzar ra. Berkata bahwa Nabi saw. bersabda kepadaku, “Janganlah meremehan kebaikan sekecil apa pun , meskipun hanya dengan menampakkan wajah yang berseri-seri saat kamu menjumpai saudaramu.” (HR. Muslim)
Kembali pada topik balasan pahala atas perbuatan amal baik saat ada udzur. Disampaikan oleh Muhammad Abduh Tuasikal bahwa, saat seseorang tidak mampu menghadiri shalat jam’ah padahal sebelumnya ia mampu hadir secara rutin, maka keadaan seperti ini akan dicatat seperti ia melakukannya saat sehat dan kuat, yaitu sesuai dengan kebiasaannya ketika itu.
Dari Abu Musa ra. Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari)
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab “Dicatat bagi musafir pahala sepeti kebiasaan amalnya saat mukim.”
Dari hadist itu pula, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al Bari, 6:136)
Sedangkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan kepada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR.Ahmad, 2:203). Syaikh Syua’ib Al Arnauth menyatakan hadits ini shahih, sedangkan sanad hadits ini hasan.
Jadi rahasia walau udzur tetap mendapatkan pahala adalah dari amalan-amalan yang dilakukan secara kontinu, istimror (berkelanjutan), istiqomah (konsisten) meskipun jumlahnya sedikit. Karena saat kita ada udzur beramal, tetap dicatat sebagaimana melakukannya secara rutin.
Sahabat pembaca setia KHS blog yang diramati Allah, yuk kita rutinkan amal kebaikan kita. Terus lakukan karena Allah. Bukan karena ingin cari muka di hadapan manusia. Cari mukalah dengan bangga hanya untuk Allah semata. Mari niatkan beramal kebaikan karena Allah. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. (nra)
Subhanallah. Barokallahu lak
aamiin…terimakasih