Berbagi Resume Sharing Pendidikan: Menjadi Sekolah Adaptif
Room Zoom. Alhamdulillah hari Sabtu, 31 Juli 2021, diberikan kesempatan untuk mengikuti sharing pendidikan tentang bagaimana menjadi sekolah adaptif. Bersama pakar di bidang pendidikan DR. Sri Susanti Tjahja Dini, M.Pd, Bang Rizqi Tajuddin Edu-Pro serta coach Rio Purboyo Inlead sebagai moderatornya. Menarik tentunya dengan tema yang diangkat, dan dibahas gayeng oleh pakarnya. Dihadiri lebih dari seratus partisipan di kelas zoom. Bagaimana isi sharingnya yukkk…kita simak.
Diawali pertanyaan tentang mengapa papan tulis selalu berada di depan dan guru pun di depan dari dulu hingga sekarang?, oleh Rizqi Tajuddin sebagai narasumber pertama Karena kebanyakan manusia mewarisi mindset yang sama. Untuk urusan papan tulis saja apabila kita membuat survey mengapa papan tulis di depan? banyak yang tidak tahu jawabannya. Dan kita tahunya ini sudah terjadi sejak kita sekolah TK, bahkan sejak ratusan tahun lalu.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana apabila belajar anak-anak yang diubah menghadap ke belakang. Kita belum berpikir bagaimana anak-anak apabila belajarnya diubah menghadap ke belakang. Kita juga tidak pernah bertanya mengapa papan tulis itu di depan? Mengapa soal ujian dengan pilihan ganda. Harusnya kita bukan bertanya sekarang soal itu, namun pertanyaan itu harusnya lima belas tahun yang lalu. Contoh lagi yaitu kartu ATM yang sekarang justru akan semakin ditinggalkan. Karena semua sistem pembayaran bisa dilakukan dengan transfer. Berbagai jenis layanan transfer di aplikasi ponsel pintar kita.
Demikian halnya dunia pendidikan. Sepanjang kita mengajar anak-anak, tentunya harus adaptif.
Dalam proses pendidikan, ada brainstorming, ada research, ada proses kreatif, dst.
“Pernah suatu saat kita membuat kelas workshop ini bagus untuk anak-anak, padahal ternyata bukan dibutuhkan oleh mereka” papar Rizqi.
Bunglon. Sedang beradaptasi. Dan manusia adalah mahluk paling adaptif.
“Setiap ada perubahan manusia akan mudah beradaptasi. Saat itu dulu orang nggak mau pakai baju begini” (sambil menunjuk pakaian Rizki).
Sekarang orang banyak ikut masuk ruang zoom sebagai kebutuhan. Padahal zoom sudah ada sejak 2017. Begitu pula skype jauh lebih lama. Demikian halnya grab, dst.
Perubahan itu sebuah keniscayaan. Sejak 10 tahun yang lalu banyak orang tua mulai bergeser semakin tidak percaya pada sekolah. Apalagi kondisi pandemi begini.
Menjadi sekolah adaptif setidaknya dengan tiga hal ini:
Do The Want this ? Desirability
Rencana pembelajaran yang kita design itu apakah dibutuhkan? Oleh pengguna (orang tua, murid dan guru)
Can we do this? Feasibility
Apakah bisa dijalankan oleh orang-orang tersebut. Apakah guru bisa menggunakannya, anak didik serta orang tua bisa menggunakannya.
Should Impact
Apakah punya impact. Esensi dari pembelajaran iru sendiri. Karena ini soal mindset. Sholat yang wajib itu menutup aurat. Pakai peci, pakai sarung itu asesoris.
Sekolah perlu mengakomodir kebutuhan tiga penggunanya yaitu orang tua, guru dan siswa
Berikutnya adalah paparan dari DR. Sri Susanti Tjahja Dini, M.Pd—knowledge Age
Beliau menyampaikan mungkin kurikulum berubah, tapi guru tidak berubah. Nah, ini akan mengakibatkan muncul sinyal-sinyal psikologis bagi guru. Namun justru sinyal-sinyal psikologis semisal panik dan merasa ter-presure (tertekan) yang dinafikkan oleh pendidik. Dan ini sering ditabrak terus. Bagaimana solusinya agar sekolah menjadi adaptif, yaitu memastikan semua warga sekolah merasa bahagia dan puas berada di lingkungan sekolah/lingkungan belajarnya.
Fungsi adaptif itu adalah saat kita juga cepat menyesuaikan dengan perubahan, yaitu dengan 4 hal:
- Having school condition—kondisi yang nyaman untuk belajar meliputi kurikulum, layanan siswa dan kondisi lingkungan sekitar. Kesulitan itu adalah yang membuat kita harus adaptif. Segera lakukan perubahan. Karena profil murid sudah berubah. Kita tidak boleh mengabaikan sinyal-sinyal tersebut.
Adaptasi itu terkait dengan mindset atau cara pandang.
2. Loving school realtionship—komunikasi dan interaksi yang sehat antar warga sekolah.
3. Being self fulfilment in school—sarana pemenuhan diri meliputi motivasi berprestasi, belajar sesuai minat dan bakat.
4. Healt—kondisi yang terkait dengan kesehatan—dampak terkait kesehatan yang muncul selama proses belajar.
Self healing—kita nambah wawasan. Sekarang banyak tool untuk merubah mindset.
Pada sesi di akhir beliau juga menegaskan kembali apa sih makna pembelajaran? Pembelajaran adalah proses memfasilitasi individu agar dapat belajar. Guru tidak boleh beda semalam dengan muridnya. Namun harus berjarak bermalam-malam. Artinya sebagai pendidik harus jauh lebih adaptif dibandingkan anak didiknya.
Sesuaikan tool-tool yang ada untuk kebutuhan pembelajaran. Harus dimulai dengan perencanaan. Direncanakan misalnya, pekan ini pembelajaran tanpa gadget.
Suplemen kurikulum yang baru nantinya ada timing khusus untuk project. Sekolah tidak lagi menggunakan istilah kelas. Tapi istilah fase. Fase A usia 7,8,9 tahun Fase B 10,11,12 tahun. Memakai fase pendekatan usia mental. Sehingga nantinya semua sekolah sudah inklusi dengan adanya mapping fase pendekatan usia mental. Anak-anak inklusi bukan untuk dikasihani tetapi difasilitasi.
Sedangkan Rizqi Tajuddin menambahkan closing statementnya bahwa inovasi pendidikan itu tidak hanya pada teknis IT, tetapi ada pada mindset.
“bahaya terbesar dari turbulensi adalah bukan pada turbulensi itu sendiri, tetapi bagaimana caranya menghadapi turbulensi itu bukan dengan logika masa lalu”.
Dulu kita diamarahi bapak-ibu kita perginya ke rumah teman, atau ke rumah nenek. Lha anak zaman now malah pasang status, posting di media sosial, nyabu, dst.
Pendidikan itu yang dibutuhkan Cuma lima huruf yaitu H.A.P.P.Y. Gurunya happy , anak didiknya happy, orang tuanya happy. Tanpa tekanan. Dan masing-masing anak itu berbeda dalam tahapan belajarnya.
Demikian sedikit berbagi catatan Sabtu siang duduk nge-zoom di PPKM level 4 Surabaya. Semoga bermanfaat bagi penyimak aktif blog ini. Semangat sehat, lekas sembuh bagi yang sakit, dan tetap jaga dan patuhi prokes. (NRA).