Antara Kyai dan mobil mewah. Sebutan Kyai di beberapa daerah mungkin ada yang menyebut Ajengan, Buya atau Tuan Guru. Namun anggaplah mereka adalah orang yang linuwih dalam hal agama dan kedekatan dengan Sang Pencipta dari kacamata sosial. Nah biasanya Kyai selalu dianggap selalu berbau akhirat dengan menisbikan urusan duniawi. Bagaimana bila Kyai nyentrik berlaku sebaliknya? Monggo disimak kisah Antara Kyai dan mobil mewah.
Alkisah. Ada seorang ulama kharismatik membeli sebuah mobil mewah seharga hampir 500 juta rupiah. Padahal, di rumahnya sudah ada mobil yang juga cukup mahal, kira-kira harga 200 juta rupiah. Mobil mewah pun kemudian dipakai untuk mudik lebaran sebagaimana lazimnya para perantau yang lain.
Suatu ketika, datanglah seorang tamu ke kediaman sang kyai untuk bersilaturrahim dan halal bihahal dengannya. Melihat dua mobil mewah terparkir di depan rumah sang kyai, si tamu itu pun tak tahan untuk bertanya, “Mohon maaf kyai. Itu mobil mewah kepunyaan kyai?”
“Ya, itu mobil saya. Kenapa? sang kyai bertanya balik.
“Enggak apa-apa, Kyai. Ngomong-ngomong harganya berapa? Kok keren banget?” ujar si tamu semakin ingin tahu
“Ah, itu mobil murah, cuma 475 juta.” jawab sang kyai.
Mendengar jawaban sang kyai demikian, si tamu pun tercengang. Benaknya mulai memberontak, rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dalan hatinya dia bertanya, mana mungkin seorang kyai yang kesibukannya mengajar di pesantren mampu membeli mobil dengan harga demikian fantastis?
Referensi pihak ketiga
Entah apa yang ada dalam pikiran si tamu, tiba-tiba ia memberanikan diri untuk menegur sang kyai. “Mohon maaf, Kyai. Anda ini kan seorang kyai, kenapa Anda malah mengajarkan kepada santri untuk cinta dengan duniawi?”
“Kok bisa?” sahut sang kyai.
“Ya jelas, karena kyai membeli mobil mewah, padahal kan sudah punya mobil mahal.” tukas si tamu.
Lalu sang kyai pun menjawab, “Kalau orang melihat saya beli mobil, lalu mereka ingin seperti saya. Tapi kenapa kalau saya shalat malam orang tidak ingin seperti saya. Kalau saya zikir malam kenapa mereka tak ingin seperti saya. Kalau saya berbuat baik kenapa orang tak ingin berbuat baik seperti saya.”
Mendengar jawaban sang kyai, si tamu pun terdiam dan merenungkan apa yang baru saja diucapkan oleh sang kyai. Ia pun seperti sadar bahwa dirinya sudah terkena wabah iri terhadap hal-hal duniawi bukan iri terhadap hal-hal ukhrawi.
Sahabat. Hakikat cinta dunia sesungguhnya tak harus selalu diukur dari seberapa besar harta dan kekayaan yang dimiliki, namun sifat zuhud bergantung pada sikap batin. Seseorang yang memiliki kecenderungan hati pada kesenangan duniawi, meski tampak tak punya harta sama sekali, itu sudah masuk cinta dunia. Sebaliknya, meski memiliki harta kekayaan yang melimpah namun batinnya cenderung ke akhirat dan memanfaatkan harta untuk kepentingan agama, itulah sebenarnya hakikat zuhud yang sejati.
Wallahu a’lam.
Nyimak gan
https://satuaspal.com/2018/04/27/nih-harga-dan-skema-kredit-yamaha-lexi-125-di-jawa-tengah/#
monggo kangbrow