Skip to main content

Mendidik Sopan Santun Pada Anak Sejak Dini (bagian#2)

Mendidik Sopan Santun Pada Anak Sejak Dini (bagian#2). Kemarin kita sudah menyimak penjelasan dari narasumber penulis buku Benih-Benih Kebaikan Ida Nur Laila. Tiga dari delapan prinsip Mendidik Sopan Santun Pada Anak Sejak Dini. Nah kawan pembaca setia blog kami, berikut paparan prinsip berikutnya.

Keempat: membangun karakter dengan kebiasaan. Kita tentu ingat tentang pepatah yang mengatakan mendidik anak di waktu kecil seperti mengukir di atas batu. Mengapa karena itu efeknya jangka panjang. Apa yang dilakukan anak terus menerus secara empiris itu akan menetap sebagai memori jangka panjang. Artinya itu susah untuk dilupakan. Apabila itu suatu kebaikan alhamdulillah. Maka kita jadikan karakter kebaikan itu sebagai kebiasaaan . Selain menginstall dii kepribadian anak apa yang dilakukan secara terus menerus dengan sendirinya akan membentuk karakter. Karena diulang-ulang  akhirnya itu akan terinstal ke anak dan itu akan menjadi karakter.

Nah, rumah itu adalah sekolah yg pertama bagi anak-anak. Rahim orangtua adalah sekolah kehidupan pertama bagi anak. Setelah keluar dari rahim mereka menjadi penghuni rumah kita maka kemudian jadikan rumah kita sebagai sekolah peradaban pertama bagi anak, yang itu menjadi bekal mereka untuk menghadapi dunia ketika mereka sdh melangkah keluar rumah pada masa sekolah mereka nantinya. Maka orangtua harus menyusun kurikulum. Apabila  orangtua tidak membuat kurikulum dan tidak dilakukan maka yang terjadi adalah anaklah yang akan mendominasi. Contoh sederhananya buatlah jadwal harian yang teratur. Kapan saatnya waktu istirahat, kapan saatnya beraktivitas, kapan saatnya beribadah. Jadikanlah rumah-rumah itu memenuhi fungsinya, sebagai fungsi spiritual, sebagai fungsi untuk istirahat. Fungsi rumah sebagai asah, asih dan asuh berjalan di rumah. Dan ingat tentang kurikulum tadi bahwa  jika orangtua miskin referensi maka orangtua dapat mengikuti kegiatan seperti ini kuliah online, ikut klub parenting, membaca buku-buku parenting, buku-buku rujukan. Banyak yang bisa kita akses di zaman now ini untuk  membuat rumah sebagai sekolah  bagi anak-anak kita. Rumah sebagai sekolah peradaban.

Lima: Santunlah dalam membentuk karakter. Ini sangat ditekankan. Kesantunan orangtua itu akan terwariskan kepada anak. Maka satu pesan penulis asal kota Gudeg ini bahwa terus menerus beliau ulang di forum parenting adalah: “janganlah memburukkan perilaku orangtua untuk membaikkan akhlak anak”. Kadang orangtua mengatakan ”ibu marah sama kamu karena ibu itu sayang sama kamu”, atau orangtua memukuli, mencubiti anak padahal dia masih kecil dengan alasan ingin membentuk karakter baik pada anak. Ini salah. Bagaimana kemudian seseorang ingin membaikkan karakter anaknya tetapi dia memburukkan karakternya sendiri. Dia menjadikan dirinya jelek.  Diambil dari kisah, suatu ketika ada seorang juragan. Dia sholih. Kemudian dia mendapatkan tamu. Tamu ini  yang menuturkan. Juragan ini punya seorang pembantu. Pembantu ini “maaf” memiliki perilaku kurang sopan, kurang adabnya. Jadi ketika dia dipanggil Tuannya dia sudah ngedumel dia mengatakan: ”tuan, saya baru mau memulai istirahat kok saya sudah  dipanggil lagi, tidak ada berhentinya pekerjaan saya. Tuan ini menyuruh pembantunya menyajikan makanan. Lalu pembantunya itu mengambil makanan dan hendak menyajikan makanan tapi ternyata makanannya tumpah karena tergesa-gesa dan menumpahi majikannya. Tapi pembantunya ini mengatakan: ”wal kazimina minal ghoid”, lalu majikannya mengatakan: “aku tidak marah, kemudiannya tuannya mengatakan ya aku memaafkanmu. Kemudian dia melanjutkan perkataannya, untuk berbuat baik  ya aku bebaskan kamu. Maka tamunya ini heran, mengapa kamu tidak marah atas perilaku kurang ajar dari pembantunya. Lalu beliau mengatakan aku tidak mau memburukkan akhlakku untuk membaguskan akhlak dia. Jadi dia sadar banget untuk menahan dirinya didalam mendidik pembantunya karena tujuannya membaguskan akhlak pembantunya. Demikian pula orangtua. Kesadaran  bahwa dia sedang mendidik anak, ini penting agar dia tidak memburukkan  akhlak dirinya sendiri. Karena apa? resonansi jiwa orangtua pada anak itu langsung transfernya. Kalo orangtua wataknya kasar, keras maka anak juga demikian. Lalu ada pertanyaan; apakah lembut itu kemudian bagaimana dengan kedisiplinan pada saat harus menegakkan disiplin tetapi dengan cara yang lembut. Maka  ingat bahwa lembut itu tidak berarti lembek tidak tegas. Lembut tetapi tegas. Beda ya.Tegas itu dalam prinsip. Lembut itu dalam cara. Nah jangan sampai terbalik, lembek dalam prinsip tegas dalam cara. Itu perlu kita ingat santun dalam membentuk karakter anak.

Keenam: hadiah perlukah? hukuman bolehkah?. Karena orangtua kadang-kadang dihadapakan pada kondisi “kok sulit amat ya mengajari baik kepada anak”. Ini pilihan ya. Ada aliran yang mengatakan hadih bagus, demikian juga ada hukuman bagus. Ada yang mengatakan itu tidak tepat seperti itu. Kalo bu Ida Nur Laila masih mengambil jalur dimana hadiah itu boleh, hukuman itu boleh. Namun tetap disampaikan apa itu hadiah, apa itu hukuman. Sebelum itu saya mengajak orangtua, bunda untuk memperhatikan tipe bahasa cinta anak. Kalo ada teori Gery tentang lima bahasa cinta pasangan. Bisa googling. Ada orang itu bahasa cintanya dengan kata-kata rayuan, ada dengan   waktu kebersamaan, dengan sentuhan fisik, ada hadiah, dan ada bantuan dengan pelayanan. Nah, anak itu juga memiliki bahasa cinta. Anak yang auditori dia senang dengan bisikan, dengan rayuan.  Anak yang lebih tipenya melankolis misalnya maka dengan kelembutan. Anak yang kinestetik  mungkin dia akan lebih suka dengan sentuhan fisik. Ada anak tipenya  suka dengan hadiah. Ketika kita mampu mengenali tipe-tipe anak, kita akan bisa memberikan satu stimulan yang tepat. Maka bisa saja hadiah itu dalam bentuk misalnya: ibu akan nyanyikan lagu buat kamu. Ibu akan buatkan puisi yang indah buat kamu. Kalo dia suka visual Ibu akan buatkan gambar yang bagus buatmu. Ini contoh. Kalo dia suka hadiah beri hadiah. Tapi ingat hadiah harus yang mendidik. Jangan sampai hadiah itu membuat anak ketagihan. Karena itu kita kembalikan pada yang pertama prinsipnya. Kita ingatkan motivasi yang pertama karena Allah semata-mata. Kemudian bagaimana dengan hukuman? Kalo hukuman fisik mulai usia 10 tahun. Kalo usianya kurang dari 10 tahun apa hukumannya. Hukumannya  yaitu mengurangi kesenangan. Misalnya dikurangi waktu nonton tv nya kalo di rumah ada tv, dikurangi waktu bermainnya. Atau dia tidak mendapatkan kesenangan. Misalnya janji membelikan mainan. Ada syaratnya. Dimana dia harus memiliki akhlak mulia pada akhlak tertentu. Atau tidak boleh main ke rumah tetangga. Hukuman bukan sifatnya fisik. Tapi hukuman itu sifatnya mengurangi kesenangan anak. Dan Itu harus disosialisasikan lebih dulu. Kalo anak sudah mulai bisa diajak dialog jangan tiba-tiba dihukum. Kita beri peringatan dulu. Lalu kita sosialisasikan bahwa kalo dia terus  melanggar maka hukumannya diterapkan.

Tujuh: mendidik dengan cinta, sabar dan bertahap. Kunci-kuncinya (menurut pengalaman beliau) adalah sadarilah bahwa  mendidik anak itu menstransfer cinta. Apapun yang kita jadikan sarana dan program. Intinya kita mentransfer cinta kepada anak. Jadikan anak merasa dicintai saat didik. Makanya disana dibutuhkan satu kesabaran. Mengapa disitu memerlukan waktu panjang, karena 24 jam menjadi orangtua. Maka mendidik anak itu tidak mudah pada sebagian orangtua. Dan mudah pada sebagian orangtua yang lain. Bisa seumur hidup ya mendidik anak itu, masyaallah. Terutama kita optimalkan pada usia 0- sampai pada usia 14 tahun (usia baligh). Tetaplah  fokusnya orangtua mendidik anaknya hingga siapa nanti yang dijemput duluan ajalnya. Makanya butuh kesabaran untuk mendidiknya karena ada setan yg membisik-bisikan keburukan, ada lingkungan yang mempengaruhi anak. Anak sudah mencontoh keburukan akhlak orang lain. Ke sekolah. Dapat dari temannya, dari tetangganya, dari televisi keburukannya datang. Dari mananapun racun itu bisa datang. Sesuatu yang sudah dibangun itu  bisa kembali lagi mundur. Anak berkata kotor, anak berwatak keras, maka orangtua harus sabar mendidik anak. Kemudian harus sesuai tahap usia anak. Anak  harus bisa begini begitu. Maka penting proses untuk latihan atau pendampingan .Misalnya begini: kita menginginkan anak kita pada suatu acara anak berlaku sopan santun dengan baik, maka berikan gambaran pada anak kita sebelum kita berangkat. Nanti di sana ada bibi, paman, kakek nenek. Nanti duduk dibawah ya kita bawa mainannya juga.  Nah nanti kita akan datang dipertemuan keluarga, nanti bunda akan salim dengan mereka, nanti kamu juga demikian ya nak ya. Kalo ada orang  yang duduk  lalu kita lewat, bilang: ”permisi” kita membungkukkan badan. Cara duduknya kita ajari. Kalo perlu ada simulasinya di rumah untuk anak : ”tamu-atamuan” istilahnya. Jangan tiba-tiba anak diajak pergi, anak tidak diberitahu, dimarahi. Maka anak harus dibekali dulu. Anak lalu berlari-lari lalu dicubit. Ini tidak sopan! Kata orangtuanya. Maka jangan menghukum anak pada apa yang belum kita ajarkan. Ajarkan pada anak, latihkan, dampingi kemudian praktikkan. Hingga anak mahir atau terampil untuk melakukannya.

Delapan.: mendidik anak dengan doa. Doa itu sebenarnya adalah sarana kita untuk mendidik diri kita sendiri dan mendidik anak. Mengapa? Tidak ada orangtua yang sempurna. Maka mari kita bersandar, bermohon minta pertolongan pada Allah. Pemilik kesempurnaan. Dan anak-anak itu bersama dengan kita, mereka bukan milik kita. Mereka milik Allah. Jiwa-jiwa mereka dalam genggaman Allah. Untuk menjadikan anak kita hatinya terbuka, condong pada kebaikan kemudian bisa memilih yang baik dan meninggalkan yang tidak baik. Doa itu sendiri adalah senjata orang mukmin. Aktivitas berdo’apun merupakan  aktivitas ibadah. Do’akan anak kita didalam kebaikan akhlak mereka. Kalo melihat anak berbuat buruk bukan langsung dicela, tapi mari kita ganti dengan doa misalnya anak berbuat kasar, lalu tangannya kita ambil, kita elus dan doakan ya Allah jadikanlah tangan anak ini tangan yang lembut. Anak berkata kotor :  ya Allah jadikan anakku anak yang suka berkata baik. Kita bisikkan kalo ada orang banyak.Kita ucapkan keras saat bersama anak. Sehingga anak merasa bahwa oh orangtua ku mendoakan aku yg baik-baik. Ini menjaga lisan kita agar tak tergelincir pada perkataan yang kurang bermanfaat. Perkataan yang tidak baik yang bisa jadi melukai jiwa anak.Misalnya: “Kamu kok kasar banget sih? Emang mau jadi apa besok ?Kita menghindarkan dari kesia-siaan ucapan. Maka orangtua banyak-banyak mendo’akan. Kita baca bersama anak. Do’a bukan hanya pada saat anak melek. Anak tidurpun kita do’akan. Anak saat sudah terlelap, do’akan anak bagian tubuh mana yang akan dido’akan elus-elus kepalanya. Misalnya kakinya yang suka menendang maka elus-elus do’akan kakinya dipakai untuk melangkah yang baik, berjalan ke arah yang baik bukan untuk menendang. Terus doakan anak-anak kita dalam sholat kita.Karena do’a orangtua kepada anaknya adalah seperti do’a nabi untuk umatnya.

Alhamdulillah tuntas sudah ulasan dari delapan prinsip mendidik sopan santun pada sejak dini yang dipaparkan langsung oleh narasumber pada semol (seminar online) bersama bu Ida Nur Laila. Semoga bermanfaat ya lur. (nra)

#terusmenulis

#day4

Tinggalkan Balasan