Skip to main content

Sisi lain generasi milenial, Mental petantang petenteng

Sisi lain generasi milenial, Mental petantang petenteng. Mungkin sebuah otokritik untuk mereka yang mengaku sebagai generasi milenial. Bolehlah pandai setinggi langit namun jangan lupa adab sopan santun tetap dijaga. Demikianlah tulisan dari warganet Alberthiene Endah Baru yang diposting dilaman facebooknya mengenai pengalaman berinteraksi dengan mereka anak-anak muda kids jaman now. Monggo disimak gans…

foto : okezone.com / ilustrasi anak muda

Mental petantang petenteng

Si wig orange

Banyak pertemuanku dengan anak muda dalam pekerjaan. Sebagian besar menyenangkan. Sebagian kecil menyedihkan. Ini sharing-ku ya tentang sebagian kecil kaum generasi milenial.

Pernah suatu kali aku mengerjakan biografi seorang tokoh besar. Naskah beres. Sang tokoh kemudian memintaku utk menemui sebuah agensi desain untuk me-layout buku ini. Biasanya aku melayout sendiri bersama staf artistik. Tapi okelah, kali tokoh itu ngefans sama gaya desain agen itu.

Jadi suatu petang datanglah aku ke kantor agen di kawasan Senayan. Mereka berkantor di sebuah rumah. Begitu aku datang…wow. Oke. Satu anak muda pake wig orange dan kakinya naek ke meja. Satu orang lagi asik goyangin badan dengan earphone di depan komputer. Dua orang lagi asyik main games berdempetan.

Aku mengucap salam. Gak ada satu pun yg noleh. Baru beberapa menit kemudian bos mereka muncul. “Hai mbak AE. Guys ini mbak AE udah datang.” Si wig orange menoleh sebentar dan kembali tak acuh. Kami rapat. Ternyata si wig orange yg akan melayout. Hadeh. Ongol ongol berkelir.

Rapat yg sangat tak menyenangkan krn sikap si wig orange yg jauh dari santun. Dan secara keseluruhan aura kantor itu menyebalkan sekali. Anak anak muda yg gak punya manner karena mereka sungguh kayak asik sama dunia sendiri. Aku sampai harus mengulang pertanyaan sampai 3 kali untuk mendapatkan jawaban padahal mahluknya ada di depanku.

Esoknya aku mendadak minta waktu menghadap si tokoh. Aku tanya…apakah harus agensi itu yg melayout. “Oh nggak. Saya hanya usul saja. Agensi itu milik teman saya. Kalo gak oke gak apa gak usah mereka.”

Oh good. Hari ini juga aku telepon si bos agensi dan mengatakan bahwa aku tidak jadi memberi pekerjaan itu pd mereka. Si bos kaget bukan kepalang dan membujuk agar aku mau meeting. “Wah bu AE jangan dong. Tolong dong bu. Pekerjaan ini penting buat kami. Sebab port folio ini bisa kami jadikan utk dpt job berikutnya dari bapak itu ( si tokoh).”

Aku mengatakan dengan terbuka bahwa aku sama sekali tidak menyukai sikap anak anak buahnya. “Kalau kalian berpikir hanya bisa sopan pada pengambil keputusan..maka sekarang sayalah yang kalian hadapi. Jadilah santun. Dan seharusnya pada tamu mana pun kalian harus santun!”

Pekerjaan itu akhirnya jadi kuberikan pada mereka tapi murni dengan pengawasanku dan tentu saja kegalakanku khususnya pada si rambut orange.

Kisah lain.

Suatu ketika beberapa penulis pemula minta ketemu. Kami kenal di medsos. Okelah nraktir penulis muda sambil membimbing. Kami pun bertemu. Bayanganku tentang penulis usia 20an yg humble, ingin belajar dan naif luntur seketika. 15 menit pertama mereka bercerita tentang ide-ide yg hebat. Cara mereka cerita arogan sekali.

Sebab mereka bilang buku buku dan penulis zaman sekarang gak ada yang keren. Menit selanjutnya mereka mulai mengkritik dan menertawakan banyak penulis. Menurut mereka banyak penulis yang gak bisa mencapai jenjang sastra yang tinggi.

Kubilang gaya menulis itu macam macam. Seperti musik gak semua harus nyanyi seriosa. Nanti yang nyanyi rock siapa. Yang nyanyi pop siapa. Dan penggemar dangdut juga banyak. Salah satu dari mereka dengan senyum pede mengatakan, “Saya ingin menulis seperti pak NH Dini, laki laki keren yg bisa menulis kehidupan perempuan begitu nyata.”

Sontak aku ngakak. Dasar anak muda sok sastra. NH Dini siapa juga tahu dia perempuan dan dia menuliskan kisah hidupnya sendiri. Aku ngakak sampai Ujungkulon. Aku bilang ke mereka, “Kalian mending belajar dulu deh, lalu coba menulis. Baru belajar mengkritik.” Sampe sekarang aku belum dengar ada buku karya mereka.

Satu kisah lagi.

Ini tentang buzzer. Dulu ada istilah selebtweet. Orang-orang berfollower banyak yg sering dibayar sebagai buzzer. Beberapa dari mereka mengontakku karena mereka dengar ada perusahaan besar yang kebetulan dekat denganku yg sedang mencari buzzer. Mereka mau menawarkan proposal yg menarik krn nanti programnya tak hanya buzzer. Oke baik. Aku aturin pertemuan dengan petinggi perusahaan.

Kami ketemu di lobby kantor perusahaan itu pd suatu pagi yg sudah ditentukan. Ngobrol langsung dengan mereka…gak nyaman banget. Selain sibuk ngoceh sendiri, mereka juga menyebut hal-hal yg sangat sombong. Misal mereka menyebut angka satu tweet mereka di proyek ini bisa mencapai 10 juta.

Temannya nyahut, “Follower gue lebih dahsyat bro. Apa yg gue omongin mereka nurut. Gue udah bisa di angka 15 juta sekali ngetwit. Dapet 10 twit aja gue bisa beli Xenia.” Dia ngakak. Dan banyak celotehan yg gak asik didenger. Gak sekali pun mereka mendiskusikan hal-hal yg kreatif dan intelek. Semisal…ya isi proposal mereka.

Saat menunggu di lobby itu melintaslah seorang anak muda dengan baju batik agak lusuh dan sikap yg bersahaja sekali.

Kantor keren begini isinya kok kayak karang taruna kurang duit jajan ya,” salah satu dari mereka nyeletuk sambil ngikik. Aku jengkel sekali. Kebetulan aku tahu siapa anak muda berkemeja batik lusuh itu.

“Kalian tau dia siapa?” Tanyaku. Mereka menatapku. “Dia adalah anak yang punya perusahaan ini. Yang bakal ngasih kalian proyek dan duit.” Kataku judes.

Meeting hari itu terlaksana. Hasil akhir, pihak perusahaan mengontakku dan menyatakan mereka kurang tertarik pada proposal dan terutama para influencer itu. “Kami lebih prefer membayar seorang ahli komunikasi senior dan dia akan memimpin sejumlah karyawan kami khusus untuk promosi medsos,” katanya. Saya hargai keputusan itu.

Akhir kata…

Buat anak-anak muda yg merasa berbakat dan keren, please jangan tumbuhkan budaya petantang petenteng ya. Untuk bisa maju, kalian tuh tetap butuh orang lain. Belajarlah bersikap profesional dan santun. Karena jam terbang orang lain adalah hal yg harus dihargai.

Banyak senior yg hebat dan kaya pengalaman nyata serta rendah hati. Dan jangan lupa, hidup itu bergulir terus dengan segala problemnya. Kalian akan menginjak usia 30, 40 dst di mana problem hidup kian complicated. Kalian mungkin juga akan masuk ke ranah rumah tangga, punya anak dua, harus nyicil rumah dst yg tentunya gak bisa diatasi dengan mental petantang petenteng.

Untung yg begitu sedikit. Banyak anak muda yg mau belajar sungguh-sungguh, rendah hati dan punya tekad juang…bisa maju berkembang ♡

Salam hangat dari bu AE yang nyinyir.

****

Demikianlah mantemans sebuah otokritik dari warganet mengenai beberapa kelakukan oknum kids jaman now. Dimana mereka unggul secara intelegensia namun miskin dalam tata krama. Mereka cerdas namun pengetahuan mereka terbatas. Mereka tidak salah hanya perlu belajar dan belajar akan pernak-pernik kehidupan

Maturnuwun

baca juga :

***\Contact KHS Go Blog/***
Main blog : http://www.setia1heri.com
Secondary blog : http://www.khsblog.net
Email : setia1heri@gmail.com ; kangherisetiawan@gmail.com
Facebook : http://www.facebook.com/setia1heri
Twitter : @setia1heri
Instagram : @setia1heri
Youtube: @setia1heri
Line@ : @ setia1heri.com
PIN BBM : 5E3C45A0

3 thoughts to “Sisi lain generasi milenial, Mental petantang petenteng”

  1. setuju mas, kebanyakan mereka suksenya bukan dari usaha sendiri, baru berhasil sekali udah sombong.. maaf saya dulu masih merasakan ke sekolah naik angkot, jalan kaki 2 kilo untuk sampai ke pemberhentian angkot, jadi lihat gaya mereka, jadi ingin jitak mas..

Tinggalkan Balasan