Skip to main content

Mengenal Suku Kalang, manusia mistik berekor kecil di Tanah Jawa

Mengenal Suku Kalang, manusia mistik berekor kecil di Tanah Jawa. Suku Kalang, nama yang agak asing namun bagi mantemans di sekitaran Jawa Timur dan Jawa Tengah mungkin pernah mendengar kisah ini dari orang tua dahulu. Mereka memiliki ekor kecil dan dianggap suku yang aneh, misterius namun mempunyai kemampuan daya lnuwih diiatas rata-rata suku lain kebanyakan. Mereka cenderung ulet, rajin dan memiliki kekayaan berlimpah. Pasang surut eksistensi mereka sejak jaman Belanda dan raja-raja di Jawa. Diduga anak turunanya sekarang berada di Kotagede, Jogjakarta. Monggo disimak tulisan panjang namun menarik dari Teddy Pitrasari di grup facebook ‎Kerabat Keliling Jogja. Cekidot…

Suku Kalang adalah sebuah kelompok masyarakat yang berdiam di seputar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang keberadaannya kini entah ada dimana. Secara mitos, mereka dianggap suku yang aneh sekaligus misterius. Dalam sebuah artikel, saya pernah membaca bahwa mereka sebenarnya bukan suku Jawa, tetapi pendatang dari India pelosok yang masih terbelakang alias primitif. Kedatangan mereka ke bumi nusantara dibawa oleh saudagar-saudagar India sebagai pengawal sekaligus kuli angkut barang. Ini karena diyakini, Suku Kalang memiliki tenaga aneh dan sejumlah kemampuan di luar akal sehat. Namun karena terbelakang dan tidak berpendidikan, Suku Kalang mudah dibodohi atau diperintah layaknya budak. Pendapat ini dikemukan oleh PJ Veth yang menulis buku “Java”.

Soemarsaid Moertono menentang pendapat ini dalam bukunya “Negara dan Usah Bina Negara di Jawa Masa Lampau” . Soemarsaid memberikan pendapat bahwa Suku Kalang adalah suku primitif yang ada di Jawa keturunan Pra-Dravidia atau Porto Melayu yang hanya bisa hidup di hutan secara berpindah-pindah. Meski hampir sama, namun pendapat ini berbeda dengan Robert-Read dalam buku “Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika”, terbitan Mizan. Pelaut Indonesia diindikasikan pernah berada di India Selatan saat era pra-Dravidia 500 tahun sebelum masehi. Jika dihubung-hubungkan ketiga pendapat tersebut, bisa jadi Suku Kalang sebenarnya adalah orang Indonesia yang melaut hingga India namun nasib yang membawa mereka kembali ke nusantara menjadi budak.

Pendapat ekstrim diutarakan oleh Mitsuo Nakamura (1983), seorang Antropolog Jepang yang menyebut suku Kalang adalah keturunan anjing atau kera. Ini karena sebagai manusia mereka justru memiliki ekor meski pendek. Penyebutan Kalang diidentifikasi lebih halus oleh Gericke Roorda bahwa Kalang artinya ” di luar “, masyarakat yang berada di luar kebiasaan manusia biasa.

Berbagai pendapat negatif muncul tentang suku Kalang karena sejumlah perilakunya dianggap menyimpang. Namun yang paling postif mereka sangat ulet dan pekerja keras tanpa mengenal lelah. Akibat gunjingan kurang baik ini Suku Kalang dahulu sering menyembunyikan identitas dirinya kepada masyarakat umum.

Prasasti Harinjing (804 M) dan Panggumulan ( 904 M) telah menyebut tentang keberadaan suku ini di masyarakat. Harinjing menyebut Tuha Kalang ( Kepala Suku Kalang ) , sementara Panggumulan menyebut Pandhe Kalang ( penebang kayu Suku Kalang ).

Di Masa Majapahit, Suku Kalang atau biasa disebut Wong Kalang, diberdayakan untuk membangun candi-candi besar, khususnya candi yang dianggap punya nilai spiritual tinggi. Ini karena wong Kalang bekerja tanpa bersuara yang dianggap sebagai tapa mbisu. Bertapa tanpa mengeluarkan suara mirip orang bisu. Selain itu lewat kemampuan khusus yang cenderung mistis, wong Kalang mampu memindahkan batu-batu besar secara ajaib. Mereka mengangkat batu gunung seringan mengangkat pohon walau tetap dilakukan secara beramai-ramai.

Meski jumlahnya tak begitu banyak, mereka yang dianggap sakti dan lebih linuwih dari yang lain, dikumpulkan secara tersendiri. Kelompok ini kemudian dijadikan pasukan khusus urusan perang gaib alias perang klenik. Dalam penyerangan Majapahit ke Kalimantan, kelompok Suku Kalang di libatkan sepenuhnya untuk menghadapi suku Dayak yang memang cukup tangguh dalam urusan ilmu gaib.

Kemenangan Majapahit atas Kalimantan tersebut membuat Empu Nala membalas jasa-jasa orang Kalang yang terlibat dengan mengangkatnya sebagai perwira-perwira khusus. Namun perilaku yang cenderung aneh dan liar membuat Majapahit kemudian mencopot kembali jabatan-jabatan tersebut dan mengembalikan Suku Kalang tetap sebagai pasukan back up saja. Mereka tetap tidak memegang komando tapi dikomandoi. Suku Kalang dianggap sulit diangkat kastanya sebagai Kesatria dalam Tri Wangsa ( Brahmana, Kesatria, Tri Wangsa). Tentangan paling keras di lakukan oleh Kaum Brahmana karena tindak tanduk Suku Kalang yang bahkan dianggap masih kalah beradab dibanding kaum sudra.

Sisa-sisa mistisisasi suku Kalang masih terasa hingga jaman mulai modern. Gubernur Raffles 1811-1816) yang punya ketertarikan mendalam terhadap seni dan kebudayaan Indonesia pernah membuat catatan tentang ritual-ritual mereka, diantaranya : Wuku ang’gara yakni ritual yang dilaksanakan pada hari Kliwon kelima, ritual wuku galingan yang dinyatakan sebagai hari suci menghentikan semua pekerjaan apapun, serta ritual wuku gumreg sebagai perwujudan rasa syukur. Ada juga ritual kalang obong dimana mereka membakar jasad orang tua atau kerabat yang meninggal lewat perantaraan boneka kayu. Mitosnya, saat boneka tersebut dibakar, bersamaan dengan itu jenasah yang dituju ikut pula terbakar.

Meski masa Hindu telah lewat dan Islam yang tak mengenal kasta berjaya di nusantara, Suku Kalang dimasa Sultan Agung justru dicari dimanapun berada dan dikumpulkan menjadi satu di Jawa Tengah. Mereka dibuatkan semacam camp besar dengan penjagaan ketat. Ini akhirnya memunculkan pendapat baru tentang nama Kalang. Dalam bahasa Jawa, Kalang artinya di buatkan penghalang, lingkaran, ruang atau halaman, dengan mengambil kata kerja ” di kalangi ” ( dilingkari ). Untuk mengkoordinir masyarakat Kalang ditunjuk salah satu diantara mereka yang paling dihormati dan diberi pangkat Tumenggung. Lewat Tumenggung ini berbagai perintah kerja diberikan. Tugas mereka masih sama, yakni kerja kasar layaknya budak. Menebang dan mengangkut kayu pohon, menjadi kuli panggul dan lain sebagainya. Selain itu beberapa orang diantara mereka diambil kalangan bangsawan sebagai abdi dalem untuk mengerjakan tugas-tugas kasar di rumah mereka masing-masing.

Kekalahan Sultan Agung terhadap Belanda membuat orang-orang Kalang berpindah dari Jawa Tengah ke Yogyakarta, tepatnya di Kotagede. Pemerintah lokal tidak lagi terlalu memberikan perhatikan khusus terhadap keturunan Kalang. Suku Kalang yang selama sekian periode dipaksa untuk bersentuhan dengan dunia umum akhirnya terbiasa. Mereka mulai melupakan ritual-ritual mistis dan bekerja layaknya manusia pada umumnya. Mereka ikut serta meluaskan pengetahuan dalam dunia bisnis. Karena watak dasarnya yang ulet, Suku Kalang rata-rata kaya raya sekaligus sebagai penyumbang dana besar kepada pemerintah setempat. Kraton memberinya imbalan dengan memberikan gelar-gelar khusus sehingga secara strata sosial lebih terpandang. Masyarakatpun mulai membanding-bandingkan keuletan kerja Suku Kalang dengan Suku Tionghoa. Kekayaan mereka menjadi sangat luar biasa dengan ciri rumah megah bergaya Eropa dengan ornamen batu mewah. Hebatnya, untuk menaikkan gengsi, pebisnis Kalang bahkan memiliki pembantu bersuku Tionghoa maupun Eropa.

Di masa revolusi kemerdekaan lagi-lagi Suku Kalang jatuh menderita. Mereka menjadi sasaran-sasaran penjarahan atau perampokan masal setiap kali ada kerusuhan, sama dengan yang dialami suku Tionghoa. Saat ibukota pindah ke Yogya, Sultan HB IX juga meminta golongan Suku Kalang menyumbang dana besar bagi perjuangan Republik.

Sebelum memasuki abad ke-20 awalnya di Kotagede terdapat dua sub-kelompok di kalangan Wong Kalang, tinggal di daerah Tegalgendu. Ada satu sub-kelompok Wong Kalang yang tinggal di daerah kuasa Kasunanan Surakarta. Pekerjaannya adalah spesialis ketrampilan mengolah kayu dan membuat produk dari kayu. Memperbaiki bangunan-bangunan di kompleks Makam Raja dan rumah-rumah bangsawan sekitar situ adalah jenis pekerjaannya. Satunya lagi, sub-kelompok Wong Kalang yang tinggal di daerah kuasa Kasultanan Yogyakarta. Secara umum pekerjaannya adalah jasa transportasi tradisional, dari piranti kuda atau sapi hingga kendaraan bermotor. Wong Kalang juga diingat oleh masyarakat Kotagede sebagai orang pribumi pertama di Jawa yang membeli sejumlah mobil ketika produk itu diimpor ke Jawa.

Bisnis ini semakin meningkat ketika pihak kraton Yogyakarta memberikan monopoli pada kelompok ini, terkait jasa pengangkutan barang-barang antara kota pelabuhan Semarang di pantai utara dan kota Yogyakarta. Bisnis mereka semakin membesar ketika sub-kelompok Surakarta juga memperoleh lisensi dari kraton Surakarta untuk membuka rumah gadai ke seluruh wilayah. Walhasil, dalam waktu singkat mereka berhasil mengembangkan jaringan luas rumah gadai yang membawa keuntungan sangat besar.

Selain itu, seturut catatan Claude Guillot, pekerjaan mereka yang lain adalah pedagang. Bekerja sebagai pedagang bukanlah monopoli kaum laki-laki tapi juga pekerjaan kaum perempuan. Mengambil contoh keluarga Mulyosuwarno dan istrinya Fatimah, Claude Guillot mencatat bahwa keluarga Kalang itu tak hanya berjualan kebutuhan sehari-hari berupa sembako, melainkan juga berdagang kain batik, emas serta berlian. Sementara Kotagede sendiri menurut catatan Van Mook (1926) adalah pusat perdagangan berlian terbesar di Hindia Belanda, dan pusat tersebut dipegang oleh keluarga Wong Kalang. Hasilnya mudah diterka, sepasang suami istri itu sudah sangat kaya dan menyandang status sosial yang tinggi. Anaknya, Prawirosuwarno, yang lahir pada 1873 dan pada akhir abad ke-19 masih usia remaja, diceritakan biasa keluar masuk istana Yogya secara bebas dan bermain-main dengan pangeran yang nantinya menjadi Sultan Hamengkubuwono VIII.

Mitsuo Nakamura juga mencatat, bahwa besarnya kekayaan yang terkumpul oleh keluarga Kalang kini masih dapat dengan mudah dikenali. Di Kotagede terdapat sekitar selusin rumah-rumah besar milik Wong Kalang yang mirip istana dibangun pada awal dasawarsa abad ke-20. Salah satunya ialah rumah di tepi timur Sungai Gajah Wong, sebuah rumah dengan dua garasi yang momot delapan mobil dan sebuah kandang untuk duapuluhan kuda.

Menariknya, seturut catatan Mitsuo Nakamura itu, cerita lokal Kotagede mengatakan bahwa suatu waktu sekitar Perang Dunia ke I, keluarga ini memperoleh keuntungan yang sangat besar dari bisnisnya. Karena itu mereka bermaksud menutup seluruh lantai ruang pendapa dengan uang koin perak. Entah dengan maksud apa, yang jelas sekiranya ruang pendapa itu seluruh lantainya ditutup dengan koin uang perak maka wajah Ratu Wilhelmina yang ada di mata uang tersebut akan diinjak-injak oleh orang pribumi. Mendengar rencana itu, residen Belanda di Yogyakarta terang merasa jengkel, namun juga enggak punya alasan yuridis untuk melarangnya. Maka residen pun bersiasat, menyarankan koin perak itu dipasang tegak dan bukan mendatar. Sekalipun keluarga Kalang itu superkaya tentu saja tetap tak cukup punya sejumlah sangat besar uang koin untuk memenuhi ‘saran’ residen itu, dan akhirnya rencana tersebut pun batal.

Lantas, pertanyaannya apa yang membuat Wong Kalang dipandang negatif oleh Wong Jawa? Mereka selain dikenal suka memamerkan kekayaannya secara berlebihan juga dikenal sangat hemat atau bahkan cenderung kikir. Bagi Wong Kalang uang hendaknya tidak digunakan untuk pendidikan, karena hal ini berarti memberikan keuntungan bagi Wong Londo; juga bukan digunakan untuk membayar zakat (Islam); serta tidak untuk membiayai pagelaran kebudayaan seperti menanggap wayang atau gamelan (Jawa). Lebih dari itu, Wong Kalang juga cenderung menghindari keterlibatan diri dalam dunia politik. Ditambah dengan sistem pernikahan yang cenderung endogami, dengan demikian Wong Kalang cenderung hidup dalam dunianya sendiri yang ekslusif dan semata-mata uang. Barangkali saja kisah Wong Kalang mirip cerita Paman Gober dalam komik Donal Bebek.

Tradisi Suku Kalang

Ada tradisi unik di suku kalang,tradisi ini bernama Kalang Obong. Tradisi ini dimaksudkan untuk selamatan atau kirim doa bagi arwah orang yang sudah meninggal. Yang membuat unik adalah wujud upacara adalah pembakaran boneka yg mirip spt upaca ngaben di Bali. Pembakaran boneka selalu disertai dengan membakar benda-benda yang paling disukai milik orang yang sudah meninggal tersebut.

Tradisi Kalang Obong dilakukan bersamaan dengan upacara Nyewu atau selamatan seribu hari orang yang sudah meninggal. Sepintas Tradisi Kalang Obong memang mirip Ritual Ngaben di Balil. Hal ini sangat wajar sebab keberadaan wong Kalang di Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak bisa dipisahkan dengan sejarah masyarakat Bali.

Konon, banyak orang Bali yang dipekerjakan di Keraton Mataram sebagai ahli ukir dan pertukangan kayu. Tukang ukir dan kayu yang dipekerjakan ini kemudian membentuk kelompok sendiri yang kemudian terkenal dengan sebutan wong Kalang (orang Kalang). Dan tempat mereka bermukim pun akirnya disebut Desa Kalangan.

Wong Kalang pada zaman pemerintahan Sultan Agung terkenal sangat ulet dan gigih, hingga ketika Sultan Agung menyerang Batavia banyak wong Kalang yang diikutkan. Selain terkenal sebagai ahli ukir dan pertukangan kayu, di kalangan prajurit atau pasukan perang, wong Kalang biasanya dipilih sebagai pasukan infanteri. Pilihan ini cukup beralasan sebab wong Kalang terkenal sangat tangguh dalam menghadapi medan tersulit sekalipun.

Cikal bakal wong Kalang di Yogyakarta berasal dari seorang tukang ukir kayu bernama Jaka Sana. Lelaki dari kasta Sudra itu pernah mendapat pekerjaan untuk membangun istana baru di Kedaton Pleret, Bantul.

Saat menjalankan tugasnya membuat istana itulah Jaka Sana menjalin hubungan dengan putri Raja Mataram yang bernama Ambarluwung. Percintaan keduanya rupanya terlanjur dalam dan tak bisa dipisahkan. Jaka Sana pun akhirnya menghadap Sultan Agung untuk melamar Ambarluwung.

Dan di luar dugaan, lamaran lelaki Sudra itu ternyata diterima Sultan Agung hanya dengan syarat Jaka Sana harus masuk Islam.

Jaka Sana menerima syarqat itu dan mereka pun akhirnya mjenikah. Tetapi, Jaka Sana tetap menyadari bila dirinya berasal dari Kasta Sudra, maka ia pun enggan tinggal di istana. Mereka memilih menetap di daerah Petanahan Kebumen, Jawa Tengah.

Itulah, kenapa Tradisi Kalang Obong mirip upacara Ngaben di Bali. Bedanya, jasad yang dibakar pada Tradisi Kalang Obong hanya berupa “puspa” atau boneka yang terbuat dari kayu jati dan doa-doa yang diucapkan pun, berupa doa-doa Islam.

Sesaji atau uborampe Tradisi Kalang Obong cukup rumit, sedikitnya ada 16 mjacam sesaji yang harus disediakan. Sesaji itu antara lain jajan pasar, kembang setaman, aneka daun, ingkung ayam, 32 jenis nasi tumpeng ditambah dengan alat tukang kayu dan tenun.

Sesaji penting yang tidak boleh ditinggalkan adalah kerbau dan itik. Hewan ini dimaksudkan sebagai hewan tunggangan bagi roh orang yang sudah meninggal.

Prosesi Tradisi Kalang Obong dimulai dengan doa-doa tahlil, baru kemudian dilanjutkan dengan Upacara Ngendhek-endheki, yakni seluruh cucu dan anggota keluarga berputar mengelilingi kerbau sesaji sebanyak 7 kali dengan membawa aneka sesaji dan “puspa”.

Prosesi dilanjutkan Upacara Nasi Kuku, yakni Sang Duku menjual nasi gurih dan harus dibeli oleh keluarga almarhum untuk diikutkan di-obong (dibakar). Prosesi diakhiri dengan Upacara Obong, yakni membakar “puspa” dan pancake. Abu hasil bakaran tersebut kemudian dilabuh ke sungai.

***

Foto dan Tulisan dari Teddy Pitrasari > ‎Kerabat Keliling Jogja (01/09/2017)

Maturnuwun

baca juga 

***\Contact KHS Go Blog/***
Main blog : http://www.setia1heri.com
Secondary blog : http://www.khsblog.net
Email : setia1heri@gmail.com ; kangherisetiawan@gmail.com
Facebook : http://www.facebook.com/setia1heri
Twitter : @setia1heri
Instagram : @setia1heri
Youtube: @setia1heri
Line@ : @ setia1heri.com
PIN BBM : 5E3C45A0

2 thoughts to “Mengenal Suku Kalang, manusia mistik berekor kecil di Tanah Jawa”

Tinggalkan Balasan