Skip to main content

“Alhamdulillah, Saya Jadi Pembantu di Rumah Anak Saya”

Tulisan menarik dari seorang kawan dokter Riko Lazuardi di facebook tentang hubungan anak dan orang tua terutama ketika masa tua. Sebuah kontemplasi penuh hikmah akan pentingnya bhakti anak terhadap orang tua terutama anak lelaki kepada ibu nya. Monggo disimak mantemans
kasih-ibu-terhadap-anak-lelaki
Alhamdulillah, Saya Jadi Pembantu di Rumah Anak Saya”
“Bagaimana kabarnya Bu?, Bagaimana komunikasi dengan putranya?” Tanya saya pada seorang ibu berusia lebih dari 50 tahun yang saat itu berkunjung ke puskesmas tempat saya bekerja dulu. Dengan wajah sumringah, beliau menjawab “Alhamdulilah dok, berkat doa dokter, sekarang saya sudah dijadikan pembantu sama anak saya”.
Saya terhenyak mendengarnya dan tidak tahu harus bersikap apa, Saya juga tidak tahu, apakah beliau menyindir saya, atau memang sungguh-sungguh berterima kasih pada saya. Agar tidak ragu, saya langsung saja bertanya “ehm, jadi pembantu bagaimana bu?”. “Ya sebagai pembantu dok, saya mencuci, setrika, menyapu, mengepel, bersih-bersih dan momong anak. Bahkan saya dapat gaji 150 ribu sebulan. Lumayan dok”, jawabnya bersemangat. Saya pun yakin bahwa beliau benar-benar berterimakasih pada saya. Pertanyaan besarnya, kok bisa ya, seorang ibu menjadi “pembantu” di rumah anaknya sendiri? Apalagi sang Ibu juga senang dengan keadaan itu…..
********************************************************************
Beberapa bulan sebelumnya, saya ngobrol dengan sang ibu, sebut saja Bu Mawar (bukan nama sebenarnya) di puskesmas. Sudah beberapa kali beliau datang untuk berobat atau meminta rujukan untuk penyakit yang dideritanya. Dari obrolan tersebut, saya mengetahui bahwa beliau kerepotan karena harus pulang pergi sendiri ke RS untuk berobat, tidak ada yang menemani. Saya pun bertanya apakah tidak sebaiknya minta tolong putranya atau keluarganya, untuk membantu mangantarkan saat periksa (sebelumnya beliau pernah bercerita bahwa sudah memiliki anak).
Nah, dari pertanyaan itulah semua bermula.Beliau mulai menceritakan bahwa walaupun punya anak, tapi beliau tidak pernah meminta tolong pada anak laki-lakinya tersebut. Beliau tidak ingin, atau lebih tepatnya, takut merepotkan putranya tersebut. Sepeninggal suaminya, putranyalah keluarga terdekatnya.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa selama ini beliau tidak pernah bisa cocok dengan menantunya. Beliau merasa, menantunya pun juga tidak menyukai beliau. Bahkan, beliau beranggapan, sang menantu juga mempengaruhi putra beliau untuk “membenci” ibunya. Dan beliau juga membalas dengan sikap serupa, yaitu “membenci” menantunya, kendati beliau tidak menampakkannya secara terang-terangan. Lengkap deh. Jadilah mereka menjadi keluarga disfungsional, keluarga yang tidak berfungsi sebagai layaknya “keluarga”.
Salah satu ketakutan terbesar beliau adalah “dibuang” dipanti jompo oleh anak dan menantunya, karena dirasa tidak dibutuhkan lagi, bahkan hanya menjadi beban. Ketakutan tersebut membuat si Ibu menjadi serba salah. Di satu sisi, beliau tidak nyaman berada di rumah anaknya dan rasanya ingin “pergi” saja, di sisi yang lain, beliau tidak ingin merasa ditinggalkan anaknya. Beliau rela melakukan apa saja agar dapat dekat dengan putra dan cucunya, sembari menahan rasa “makan hati” akibat sikap menantunya (dan sikap putranya juga) yang kurang baik terhadap beliau. Jadilah beliau merasa puas dan bersyukur dapat menjadi “pembantu”, karena dengan begitu beliau merasa masih punya peran dalam kehidupan keluarganya, khususnya putranya.
Kebanggaan Masa Lalu
Saat kecil, lazimnya anak mengenal orang tua kita sebagai orang yang serba bisa. Hampir semua hal dapat mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan anak. Memberi makanan, menyekolahkan, mengganti popok, memperbaiki sepeda yang rusak, membersihkan lantai yang kotor karena makanan yang ditumpahkan, dan masih buaaaanyak lagi. Anak pun memandang mereka sebagai sosok yang tergantikan. Saat itu, peran serba bisa mereka seakan harus selalu ada sepanjang kehidupan anak. Lalu, rasa “tergantung” anak terhadap orang tua juga ditangkap oleh orang tua.
Mereka biasanya merefleksikan ketergantungan anaknya dengan berusaha menjadi sosok yang “serba bisa” sesuai dengan yang diharapkan,. Hal ini memunculkan rasa tanggung jawab, sekaligus kebanggaan dalam diri para orang tua, jika berhasil menjadi sosok yang diinginkan. Ini adalah hal yang wajar.
Seiring berjalannya waktu, anak pun makin besar. Sedikit demi sedikit ketergantungan terhadap orang tua akan berkurang. Hingga akhirnya, anak menjadi sepenuhnya mandiri dan siap menjalani kehidupan sendiri. Nah, disinilah biasanya konflik mulai terjadi. Lepasnya ketergantungan anak pada orang tua dapat berakibat bak pedang bermata dua. Ada kalanya orang tua dapat ikhlas melihat anaknya tak lagi bergantung pada mereka. Bahkan, ada kebanggaan (integrity) baru yang muncul, karena berhasil mendidik anak menjadi mandiri. Inilah yang diharapkan. Orang tua pun merasa puas telah menjadi bagian dari kesuksesan anaknya, dan menjalani hari-harinya dengan tenang.
bhakti-anak-lelaki-kepada-ibu
Dilupakan dan ditinggalkan
Namun ada kalanya pula, “kemandirian” anak membuat orang tua merasa kehilangan peran. Analoginya seperti pejabat yang pensiun. Hari-harinya yang biasanya sibuk dan dibutuhkan banyak orang, tiba-tiba menjadi “sepi”, tenang, tidak ada yang mencari. Begitu pula orang tua. Anak yang biasanya sangat bergantung, dan manut dengan orang tua, kini tak lagi bergantung, dan mulai mempunyai pemikiran sendiri, yang tak jarang tidak sejalan, bahkan berseberangan dengan pemikiran orang tua. Peran orang tua menjadi goyah.
Kebanggaan sebagai orang tua yang berhak “mengatur” arah kehidupan anaknya saat kecil, kini mulai pudar. Lama-lama, orang tua dapat merasa ditinggalkan, dilupakan bahkan tidak dibutuhkan. Alih-alih merasa puas, mereka justru merasa kecewa, dan menyesal karena merasa tidak menjadi bagian dari kesuksesan, atau bahkan kehidupan anaknya. Ujung-ujungnya, munculah perilaku seperti yang dilakukan Bu Mawar dalam ilustrasi diatas (yang berdasarkan kisah nyata). Bisa dipahami?
Semua orang perlu dimengerti
Sebagaimana anak kecil yang ingin dimengerti dan dimaklumi jika berbuat salah, orang tua (lansia) pun ingin dimengerti. Ingin dimengerti bahwa mereka juga membutuhkan perhatian anaknya. Ingin dimengerti bahwa mereka juga ingin terlibat dalam kehidupan anaknya, ingin dimengerti bahwa mereka juga masih bisa berperan untuk kehidupan sekitar, khususnya anak-anaknya, dan ingin dimengerti bahwa beliau “masih ada”.
Tugas kita sebagai anak, adalah memahami keinginan mereka. Ayo kita hadirkan mereka dalam kehidupan kita, sesibuk apapun kita. Wujudkan perasaaan masih dibutuhkan di kehidupan mereka. Insyaalloh dengan begitu, kebanggaan orang tua (dalam taraf yang proporsional) tetap terjaga, dan mereka pun dapat tetap bahagia.
Pertanyaannya, bagaimana cara menghadirkan mereka dalam kehidupan kita? Cukupkah dengan sekedar tinggal serumah dengan mereka? Kita lanjutkan dalam kesempatan berikutnya =) -5minutesinspiration- Feb 2017 �땤� �eQ
Oleh : Rico Lazuardi
Maturnuwun

8 thoughts to ““Alhamdulillah, Saya Jadi Pembantu di Rumah Anak Saya””

  1. Sepanjang pengalaman saya jadi anak dan menantu, saya tidak pernah merasa diperlakukan berbeda oleh keduanya dan begitupun saya memperlakukan mereka. Tapi mengajak mereka tinggal bersama adalah hal yang sangat mustahil mereka kabulkan karena mereka lebih betah tinggal di rumah masing2 yang sejak lama mereka persiapkan untuk ditinggali di masa pensiun.
    Itu pengalaman saya, saya yakin setiap anak , setiap menantu memiliki kisah yang berbeda .

Tinggalkan Balasan